• logo nu online
Home Nasional Banten Raya Warta Keislaman Tokoh Khutbah Sejarah Opini Pesantren NU Preneur Ramadhan 2023
Senin, 29 April 2024

Opini

Tujuan Hukum Islam (4)

Tidak Hanya Saleh, tapi Muslih Setiap Zaman dan Tempat

Tidak Hanya Saleh, tapi Muslih Setiap Zaman dan Tempat
Ilustrasi keturunan. (Freepik)
Ilustrasi keturunan. (Freepik)

SEPERTI diketahui, Imam Asy-Syatibi menyampaikan, maqashid syariah memiliki lima aspek inti, yaitu: menjaga kokohnya agama (hifdzu ad-din), perlindungan nyawa (hifdzu an-nafs), proteksi kesehatan berfikir (hifdzu al-‘aql), pelestarian keturunan (hifdzu an-nasl), dan penjagaan terhadap harta benda (hifdzu al- mal). Yang pertama, menjaga agama. Lalu kedua dan ketiga, perlindungan jiwa dan memelihara akal. Lalu memelihara keturunan dan memelihara harta benda.

 


Demi mewujudkan kelima dasar tujuan syariat, Al-Buthi memaparkan instrumen yang disusun secara hirarkis berdasarkan penekanan tiga strata kemashlahatannya.

 


Pertama, ad-Dharuriyyat. Yaitu segala sesuatu yang harus ada dalam hidup umat manusia untuk merealisasikan kelima prinsip di atas. Andai sesuatu yang dlaruriy ini tiada, maka tata kehidupan dunia ini dapat timpang, kebahagiaan akhirat takkan tercapai, bahkan kesengsaraan dunia dan siksaan akhiratlah yang dijadikan sebagai ancamannya. Sebagai contoh, demi menjaga agama sebagai prinsip pertama dan yang paling utama dari maqashid syar’iyyah, Allah syariatkan kewajiban beriman dan bertauhid, dan demi mempertahankan agama dari segala marabahaya, Allah legalkan jihad dan hukum orang yang mengajak kesesatan. Dalam hal penelitian ini, nikah dihalalkan dan dianjurkan sebagai menifestasi dari tujuan syariat yang keempat, yakni hifdzun nasl, melestarikan keturunan.

 


Kedua, al-Hajiyyat.  Segala hal yang diperlukan sebagai wasilah mendapat kemudahan dan menghindari kesulitan. Andai maslahat level kedua ini terabaikan, maka umat manusia dapat mengalami kesulitan demi kesempitan, bahkan bisa jadi mengakibatkan kelima tujuan Syariat di atas pupus. Jika menikah merupakan kategori dlaruriy, maka pensyariatan mahar dan cerai (thalaq-khulu’) merupakan contoh maslahat yang level kedua ini.

 


Ketiga, at-Tahsiniyyat. Segala sesuatu yang ketiadaannya tidak sampai menimbulkan kesulitan, hanya penerapannya sesuai dengan dasar melakukan adat-istiadat yang pantas, dan menjauhi yang tidak layak/ideal serta selaras dengan budi pekerti luhur dan kebiasaan adat yang baik. Dalam hal menjaga keturunan dan nasab sebagai prinsip maqashid syariyah, ada ketetapan kode etik dalam menggauli pasangan dengan makruf dan hukum kufu` dalam memilih pasangan hidup.



Penegakan kelima tujuan syariat ini pada hakikatnya merupakan sarana menuju puncak tujuan tertinggi, yaitu aktualisasi diri seorang manusia sebagai hamba Allah, yang mesti mengabdi dan menyambah kepada-Nya di waktu stabil maupun terpaksa. Hanya dengan penghambaan inilah, ia dapat meraih keabadiaan di surga-Nya dan meraih ridha-Nya. Penghambaan ini yang mengikat akhirat dengan dunia.

 


Dari semua paparan di atas, tampak bahwa maqashid al-syariah merupakan aspek penting dalam pengembangan hukum Islam. Ini sekaligus sebagai jawaban bahwa  hukum Islam itu dapat dan bahkan sangat mungkin beradaptasi dengan perubahan-perubahan sosial yang terjadi di masyarakat.



Adaptasi yang dilakukan tetap berpijak pada landasan-landasan

yang kuat dan kokoh serta masih berada pada ruang lingkup syariah yang bersifat universal. Ini juga sebagai salah satu bukti bahwa Islam itu tidak hanya selalu sesuai (saleh), melainkan juga senantiasa memperbaiki (muslih) setiap zaman dan pada setiap tempat. (Habis)
 


H Muhammad Robi Ulfi Zaini Thohir, Ketua PCNU Kabupaten Serang, Pengasuh Ponpes Moderat At-Thohiriyah Pelamunan

 

Sumber: Dr Muhammad Sa'id Ramadhan al Bouthy, Dlawabith al-Mashlahah, 132-133


Opini Terbaru