• logo nu online
Home Nasional Banten Raya Warta Keislaman Tokoh Khutbah Sejarah Opini Pesantren NU Preneur Ramadhan 2023
Minggu, 28 April 2024

Tokoh

Tokoh NU dari Banten Ini Dapat Gelar Pahlawan Nasional

Tokoh NU dari Banten Ini Dapat Gelar Pahlawan Nasional
Sejumlah tokoh NU yang dapat gelar Pahlawan Nasional. (Grafis: NUO)
Sejumlah tokoh NU yang dapat gelar Pahlawan Nasional. (Grafis: NUO)

Tangerang Selatan, NU Online Banten

Tidak sedikit tokoh Nahdlatul Ulama (NU) yang berjasa kepada negeri ini. Pemerintah memberi gelar Pahlawan Nasional kepada mereka yang berjasa kepada negeri ini, tentu dengan sejumlah syarat dan kriteria yang ditentukan. Hingga saat ini setidaknya ada 13 tokoh NU yang dianugerahi sebagai Pahlawan Nasional oleh Pemerintah Republik Indonesia.

 


Tahun ini, bertepatan dengan Peringatan Hari Pahlawan, 10 November 2023, ada enam tokoh yang mendapat anugerah. Ada Ida Dewa Agung Jambe (Bali), Bataha Santiago (Sulawesi Utara), dan Mohammad Tabrani Soerjowitjirto (Jawa Timur). Lalu Ratu Kalinyamat (Jawa Tengah), KH Abdul Chalim (Jawa Barat), dan KH Ahmad Hanafiah (Lampung).

 


Di antara enam tokoh itu, ada KH Abdul Chalim, pendiri Nahdlatul Ulama (NU) kelahiran Leuwimunding, Majalengka, Jawa Barat. Kiai Abdul Chalim terlibat aktif di awal-awal pendirian NU di Surabaya. "Jasanya sangat besar baik saat revolusi, merebut kemerdekaan, awal kemerdekaan maupun saat mengisi kemerdekaan Republik Indonesia (RI) lewat pemikiran, pergerakan, perjuangan keagamaan, kebangsaan, pendidikan, sosial, politik dan ekonomi saat itu," ujar Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa saat menghadiri dan membuka Seminar Nasional Pengusulan Gelar Pahlawan Nasional KH Abdul Chalim Leuwimunding di Islamic Center Surabaya, Jawa Timur, Sabtu (29/4/2023), dikutip dari NU Online

 


Dengan tambah KH Abdul Chalim, setidaknya ada 13 tokoh NU yang dapat anugerah sebagai Pahlawan Nasional. Sebelumnya, ada 12 orang. Mereka memiliki khidmat yang luar biasa dengan mencurahkan jiwa, raga dan perhatian untuk bangsa, agama dan warga sekitar. Salah satunya, dari Serang, Banten.



Dalam pandangan Wakil Sekretaris Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) periode 2010-2015 H Abdul Mun'im DZ, hal ini menunjukkan bahwa NU bukan pemain figuran dalam pembentukan negara ini, melainkan pemeran utama. 

Pertama, Hadratussyekh KH M Hasyim Asy'ari, tokoh utama pendiri NU. Pendiri dan Pengasuh pertama Pesantren Tebuireng, Jombang tersebut merupakan satu-satunya penyandang gelar rais akbar NU hingga akhir hayatnya dan tidak pernah ada lagi hingga sekarang. Ayahanda KH Abdul Wahid Hasyim ini ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada tahun 17 November 1964 berkat jasanya yang berperan besar dalam pendidikan melalui NU dan melawan penjajah.

 


Sosok ulama ini telah melahirkan banyak jasa kepada negeri ini yang tidak terhingga dan salah satu di antara jasanya untuk negara ini adalah mengeluarkan Resolusi Jihad fi Sabilillah yang direkomendasikan untuk Pemerintah RI yang baru berdiri ketika itu.



Kedua, KH Zainul Arifin. Merupakan tokoh NU asal Barus, Sumatera Utara. Keturunan raja-raja Barus ini aktif di NU sejak muda melalui kader dakwah. Di antara jasanya adalah pada pembentukan pasukan semimiliter Hizbullah. Kemudian menjadi panglimanya. Pernah menjadi perdana menteri Indonesia, ketua DPR-GR. Selain itu, juga berjasa dalam menjadi anggota badan pekerja Komite Nasional Pusat. Pemerintah menetapkan dirinya sebagai Pahlawan Nasional pada 4 Maret 1963. 

 


Ketiga,  KH Abdul Wahid Hasyim adalah putra Hadratussyekh KH Hasyim As'yari. Dia tercatat sebagai salah seorang anggota Badan Penyidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). Ayah dari Presiden Keempat RI KH Abdurrahmann Wahid ini ditetapkan sebagai pahlawan nasional pada 17 November 1960. 

 

Keempat, KH Zainal Musthafa. Ulama ini merupakan tokoh NU dari Tasikmalaya, Jawa Barat. Pernah menjadi salah seorang wakil rais Syuriyah. Dirinya merupakan salah seorang kiai yang secara terang-terangan melawan para penjajah Belanda. Ketika Belanda lengser dan diganti Jepang, tetap menolak kehadiran mereka. Bersama para santrinya mengadakan perang dengan Jepang. Dan atas jasanya dianugerahi sebagai Pahlawan Nasional pada1972. 

 


Kelima, KH Idham Chalid. Tercatat pernah menjabat sebagai wakil Perdana Menteri Indonesia pada Kabinet Ali Sastroamidjojo II dan Kabinet Djuanda. Juga sebagai ketua MPR dan ketua DPR. Sebelum aktif berpolitik dan duduk di kursi parlemen dan kementerian, Kiai Idham merupakan seorang pejuang kemerdekaan dari tanah kelahirannya di Kalimantan Selatan. Selain sebagai politikus, kiai ini pernah diamanahi sebagai ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) 1956 hingga 1984. Kiai Idham ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada 8 November 2011. Kemudian pada 19 Desember 2016, pemerintah mengabadikannya di pecahan uang kertas rupiah baru, pecahan Rp 5 ribu.

 


Keenam, KH Abdul Wahab Chasbullah. Ulama pendiri NU. Sebelumnya, Kiai Wahab dikenal sebagai pendiri kelompok diskusi Tashwirul Afkar, pendiri Madrasah Nahdlatul Wathan, pendiri Nahdlatut Tujjar (kebangkitan pedagang). Sejak 1924, Kiai Wahab mengusulkan agar dibentuk perhimpunan ulama untuk melindungi kepentingan kaum tradisionalis yang bermazhab. Usulannya terwujud dengan mendirikan NU pada 1926 bersama kiai lain. Kiai yang dulu menjadi pengasuh Pesantren Bahrul Ulum Tambakberas Jombang tersebut juga salah seorang penggagas Majelis Islam A'la Indonesia. Dia dipilih oleh para kiai sebagai rais 'aam PBNU meneruskan Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari. Kiai yang wafat pada 29 Desember 1971 tersebut mendapatkan gelar Pahlawan Nasional pada 8 November 2014. 

 


Ketujuh, KH As'ad Syamsul Arifin. Pengasuh Pesantren Salafiyah Syafiiyah, Sukorejo, Banyuputih, Situbondo, Jawa Timur, ketika itu tersebut menjadi pemimpin para pejuang di Situbondo, Jember maupun Bondowoso. Di masa revolusi fisik, Kiai As'ad menjadi motor yang menggerakkan massa dalam pertempuran melawan penjajah pada 10 November 1945. Kiai As'ad juga berperan menjelaskan kedudukan Pancasila tidak akan mengganggu nilai-nilai keislaman. Atas jasa-jasanya, mendapat anugerah Pahlawan Nasional pada 9 November 2016.

 


Kedelapan, KH Syam'un. Merupakan pengurus NU di Serang, Banten. Pernah hadir di Muktamar NU keempat di Semarang pada 1929, Muktamar NU kelima di Pekalongan 1930, dan Muktamar NU kesebelas di Banjarmasin pada 1936. KH Syam'un selain alim dalam keilmuan, menguasai tiga bahasa asing dan pernah mengajar di Arab Saudi pada masa mudanya. Ketika kembali ke tanah air, bergabung dengan kelaskaran. Dia pernah menjadi perwira tentara sukarela Pembela Tanah Air (Peta). Juga pernah menjadi Komandan Batalyon berpangkat daidancho atau mayor pada 1943. Pada 1944, Kiai Syam’un dilantik jadi Komandan Batalyon Peta berpangkat mayor, memimpin 567-600 orang pasukan. Saat TKR dibentuk 5 Oktober 1945, pangkatnya naik jadi kolonel, Komandan Divisi l TKR dengan memimpin 10 ribu orang pasukan. Pada 1948, naik pangkat brigadir jenderal dan memimpin gerilya di wilayah Banten, sampai wafatnya 1949, serta ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional pada 8 November 2018. 

 


Kesembilan, KH Masykur. Tokoh NU yang pernah menjadi anggota Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Di antara kontribusinya adalah ikut terlibat merumuskan Pancasila sebagai dasar negara. Dia juga tercatat selaku pendiri Pembela Tanah Air (Peta) yang kemudian menjadi unsur laskar rakyat dan TNI di seluruh Jawa. 

 


Kesepuluh, H Andi Mappanyukki. Suku Bugis, raja Bone. Pendiri NU Sulawesi Selatan ini berjuang melawan penjajah Belanda dan Jepang 1945-1949. Dia mendapatkan gelar Pahlawan Nasional RI berdasarkan SK Pres RI No 089 5 November 2004.



Kesebelas, H Andi Djemma. Dia merupakan raja Luwu. Pendiri NU Sulawesi Selatan ini berjuang melawan penjajah Belanda 1946-1948. Dia mendapatkan gelar Pahlawan Nasional RI berdasarkan SK Pres RI No 073 6 November 2002.



Kedua Belas, Usmar Ismail. Dia berasal dari Suku Minang. Muassis, pendiri Lembaga Seniman Budayawan Muslim Indonesia (Lesbumi) NU bersama H Djamaluddin Malik, dan Asrul sani pada 1962-1970. Usmar Ismail mendapat amanah sebagai ketua I PBNU 1964-1970. Dia dikenal sebagai seorang sutradara film, sastrawan, wartawan, dan pejuang Indonesia. Dia dianggap sebagai pelopor perfilman di Indonesia. Selain itu, dikenal sebagai pelopor drama modern di Indonesia, dan juga Bapak Film Indonesia. Mendapatkan gelar Pahlawan Nasional berdasarkan SK Presiden RI No 109 TK 5 November 2021. (M Izzul Mutho)


Tokoh Terbaru