• logo nu online
Home Nasional Banten Raya Warta Keislaman Tokoh Khutbah Sejarah Opini Pesantren NU Preneur Ramadhan 2023
Minggu, 28 April 2024

Opini

4 Cara dan Modal Kontekstualisasi Kitab Kuning dalam Pandangan Kiai Azizi

4 Cara dan Modal Kontekstualisasi Kitab Kuning dalam Pandangan Kiai Azizi
KH Azizi Hasbullah (kanan) meninggalkan kenangan. (Foto: dok pribadi)
KH Azizi Hasbullah (kanan) meninggalkan kenangan. (Foto: dok pribadi)

Dalam dunia bahtsul masail, KH Azizi Hasbullah (1968-2023) adalah legenda. Kepakarannya memukau. Diakui oleh berbagai kalangan. Lebih-lebih, ketika menjadi dewan perumus di forum bahtsul masail Forum Musyawarah Pondok Pesantren (FMPP) Jawa-Madura ataupun dalam bahtsul masail Lembaga Bahtsul Masail (LBM) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Tak pelak, nama dan kiprah beliau menjadi oase inspirasi berbagai santri. Baik santri Lirboyo ataupun lainnya. Wafatnya beliau, 21 Mei 2023, menyisakan duka mendalam. Meninggalkan lubang menggaga dalam jagat bahtsul masail. Lantas apa yang harus dilanjutkan setelah beliau?

Kontekstualisasi kitab kuning adalah salah satunya. Proyek intelektual yang sering digaungkan Kiai Azizi. Di berbagai forum dan kesempatan. Lantas bagaimana dilakukan? Dalam makalah berjudul “Kontekstualisasi Kitab Turast dalam Perkembangan Istinbath Hukum Islam”, Kiai Azizi menggariskan 4 cara dan modal yang harus disiapkan. Makalah setebal 21 halaman ini disampaikan Kiai Azizi saat menjadi pembicara dalam Stadium General di Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang. Tepatnya 26 Desember 2019.

Pertama, mengedepankan sumber/rujukan primer dalam sistem bermazhab. Misalnya dalam Mazhab Syafiiyah, agar lebih intensif, serius, dan kritis terhadap karya Imam Syafi’i (150-204 H). Kemudian karya-karya murid-murid terdekatnya yang dianggap lebih memahami pendapat Imam Syafi’i. Dilanjutkan dengan merujuk pada karya imam-imam besar dengan secara langsung. Seperti Imam al-Mawardi (364-450 H), Imam Haramein (419-478 H), Imam al-Ghazali (450-505 H), dan lainnya.

Kedua, mengkaji hasil rumusan ulama mujtahid tidak lagi secara doktriner dan dogmatis. Namun dengan kritis (critical study). Yakni sebagai sejarah pemikiran (intellectual history atau history of ideas). Artinya, kita mengkaji sejarah pemikiran ulama sekaligus latar belakang mengapa ulama tersebut berpendapat seperti itu. Metodologi dan proses pemikiran mereka itulah yang justru harus lebih banyak dikaji dan diikuti alur prosesnya, bukan semata-mata produk matangnya. jika hukum tersebut terjadi perbedaan di antara ulama, maka kita kaji penyebab perbedaan pendapat tersebut dan proses pemikiran mereka.

Ketiga, interpretasi teks-teks fiqh secara kontekstual, mengubah pola berfikir dari qouly (tekstual) ke manhaji (metodologis). Melakukan  verifikasi mendasar untuk membedakan mana ajaran yang pokok (ushul) dan yang cabang (furu). Mana ajaran yang qoth’iy dan ajaran yang dhonni. Mana ajaran yang bersifat teknisi dan ajaran yang formalis (mengikuti bentuk-bentuk yang telah ditetapkan) dan dogmatif. Baik yang murni ibadah (taabbudi mahdloh) atau yang semi murni ibadah (taabbudi ghoiru mahdloh).

Keempat, memahami garis-garis besar ajaran agama baik esensial (haqiqot), subtansial (isi pokok yang ditunjukkan dalam ajaran tersebut), maqosidus syariah, dan formalisme (mengikuti bentuk-bentuk yang telah ditetapkan) atau mengikuti ketentuan bentuk yang berlaku. Batasan masing-masing harus dipahami dan dibedakan.

Keempat cara tersebut dapat direalisasikan dengan memperhatikan 4 modal yang harus dimiliki. Pertama, memahami kutubutturats dengan komprehensif. Menguasai kaidah-kaidah ushul fiqih dan qowaid al-fiqhiyah. Kedua, mempunyai daya tanggap (responsif) terhadap masalah-masalah yang muncul. Di mana umat Islam ingin cepat mendapatkan jawaban agama, jadi tidak membiarkan terlalu lama umat menunggu dengan mengetahui pokok permasalahan yang akan dijawab.

Ketiga, mengetahui dinamika sosial budaya yang tengah terjadi di masarakat. Didukung dengan mengetahui disiplin ilmu pengetahuan lain seperti kedokteran, ekonomi, biologi, dan lainnya. Keempat, menjaga akidah dan amaliyah (tauhid dan tasawuf). Karena menemukan jawaban tidak hanya dapat dihasilkan dengan adanya akal cerdas, tetapi juga dengan kejernihan hati (mukasyafah) dan daya cercap (dzauq) untuk memahami esensi hukum Islam.

Dari paparan ini, kontekstualisasi kitab kuning adalah proyek intelektual yang niscaya. Tidak mudah. Namun harus menjadi garapan bersama. Terlebih santri aktivis bahtsul masail. Sebagaimana telah dihantarkan dan dicontohkan oleh Kiai Azizi. Tak lelah. Sepanjang hayat.

Semoga kita dimudahkan.

Muhammad Hanifuddin, Ketua LBM PCNU Tangsel dan Dosen Ma’had Darus-Sunnah Jakarta.kiai


Opini Terbaru