• logo nu online
Home Nasional Banten Raya Warta Keislaman Tokoh Khutbah Sejarah Opini Pesantren NU Preneur Ramadhan 2023
Jumat, 10 Mei 2024

Opini

Manfaat Fiqih Sirah Nabawiyah ala Syekh Said Ramadhan al-Buthi

Manfaat Fiqih Sirah Nabawiyah ala Syekh Said Ramadhan al-Buthi
Ilustrasi. (NUO)
Ilustrasi. (NUO)

FIQIH sirah nabawiyah tidak sekadar menghafal tahun. Tidak sekadar menghafal nama. Tidak sekadar mengetahui peristiwa kenabian. Lebih dari itu. Fikih sirah mengajak kita untuk lebih memahami. Lebih mengayati. Kemudian mengambil inspirasi. Demikian yang ditegaskan oleh Syekh Said Ramadhan al-Buthi (1929-2013). Tokoh ulama kontemporer dari Syuriah. Karenanya, perlu diksi fiiih. Tidak sekadar sirah nabawiyah.  



Dalam karyanya yang bejudul Fiqh al-Sirah al-Nabawiyah, Syekh Said Ramadhan al-Buthi menegaskan setidaknya ada 5 manfaat mempelajari fiqih sejarah kenabian. Pertama, dapat memahami konteks sosial kenabian. Ruang dan waktu historis inilah yang dapat membantu memahami keberadaan Baginda Nabi saw. Tidak hanya sekadar diberikan wahyu, Nabi Muhammad saw juga dibentuk oleh tantangan kultural. Dengan memahami akar masalah ini, kita akan dimudahkan untuk memahami teks-teks hadits. Karena, teks tidak bisa dilepaskan dari konteks.

 


Sebagai misal, mudah dirujuk beberapa hadits terkait shalat di dalam masjid mengenakan sandal, hukuman orang yang meludah di dalam masjid, kebiasaan keluarga Nabi dan masyarakat Arab buang hajat di padang pasir, yakni keluar dan menjauh dari rumah. Dan masih banyak lagi. Hadits-hadits ini banyak terdapat dalam Kutubussitah. Tentu, jika hadits-hadits ini kita amalkan secara literal, apa adanya dalam kehidupan Muslim sekarang, akan dianggap ganjil.

 


Kedua, mendapatkan contoh ideal. Dalam kehidupannya, manusia membutuhkan rule model. Membutukan teladan nyata. Di titik ini, laku hidup Kanjeng Nabi adalah model ideal. Menjadi suri teladan. Baik sebagai personal atau pun bagian komunal. Berbagai sisi kehidupan Nabi dapat menjadi rujukan. Mulai ranah menata kehidupan rumah tangga, masyarakat, hingga negara. Sebagai misal adalah romantisme baginda Nabi dengan istri. Makan bersama, bercanda bersama, hingga mandi bersama. Tidak pernah sekali-kali melakukan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).    

 


Ketiga, sejarah kenabian adalah salah satu alat bantu memahami Al-Qur’an dan hadits. Termasuk hikmah dan maqashidnya. Banyak sekali maksud ayat Al-Qur’an dijelaskan oleh amaliah Nabi. Para sahabat mudah mengikutinya. Termasuk bagaimana tata cara wudhu, shalat, zakat, haji, dan lain sebagainya. Sudah menjadi pengetahuan bersama, di dalam Al-Qur’an tidak terdapat ayat yang menjelaskan detail syarat dan rukun shalat. Amaliah Nabi yang termaktub dalam hadits menjadi penjelasnya. “Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihatku shalat.” Demikian tegas baginda Nabi dalam hadits shahih riwayat Imam al-Bukhari (194-256 H).

 


Keempat, dengan mempelajari fiqih siroh nabawiyah, seseorang akan mengetahui lebih detail wajah peradaban dan pengetahuan Islam. Baik dalam ranah akidah, hukum, maupun akhlak. Tidak lain, karena laku hidup Baginda Nabi adalah pengejawantahan ajaran Islam. Sebagai  misal, dalam ranah interaksi sosial (muamalah), Baginda Nabi berakad gadai dengan orang Yahudi. Dalam masalah bela negara, menjaga keamanan Madinah, Baginda Nabi juga bekerja sama dengan penduduk Madinah, keturunan Yahudi. Tepatnya bernama Mukhairiq. Tokoh Yahudi ini gugur dalam perang Uhud. Harta kekayaannya diwasiatkan kepada Baginda Nabi. Dalam masalah akidah jelas berbeda. Namun bukan berarti tidak boleh bekerja sama dalam mewujudkan kebaikan bersama.

 


Kelima, penting bagi pengajar dan pendakwah mendapatkan contoh nyata mendidik dan berdakwah. Dalam mendidik, Baginda Nabi adalah contoh ideal. Dalam berdakwah, Baginda Nabi adalah acuan utama. Sebagai misal, dalam berdakwah, Baginda Nabi tidak pernah meminta upah. Bahkan sebaliknya, harta dan kekayaan Baginda Nabi digunakan untuk dakwah. Karena itu, jika ada dai yang tidak meniru cara dan metode Nabi, maka tidaklah tepat. Semisal ada dai yang pasang tarif. Mau diundang ceramah dengan beberapa syarat tertentu. Tentu, hal ini sudah melenceng dari tuntunan Baginda Nabi.



Dari pemaparan singkat ini, jika hadits dipahami dengan bingkai pemahaman konteks sosial yang utuh, niscaya akan menjadi inspirasi yang tak pernah kering tergali. Dan fiqih sirah nabawiyah menawarkan cara untuk mengantarkan kita ke titik itu. Lantas tertarikkah anda?

 


Muhammad Hanifuddin, Dosen Ma’had Darus-Sunnah Jakarta, Ketua LBM PCNU Tangsel


Opini Terbaru