Opini

Tiga Metode Belajar Hadits Menurut Syekh Jamaluddin al-Qasimi

Jumat, 18 Oktober 2024 | 08:04 WIB

Tiga Metode Belajar Hadits Menurut Syekh Jamaluddin al-Qasimi

Karya Syekh Jamaluddin al-Qasimi yang berjudul Qawaid al Tahdits. (Foto: Dok Pribadi)

DALAM beberapa dekade terakhir, kajian hadits marak digemari. Terlebih oleh masyarakat urban. Tentu, tanpa menafikan tradisi kajian hadits di pesantren dan perguruan tinggi. Semakin meluasnya kajian ini adalah ghirah. Semangat keberagamaan yang baik. Perlu disyukuri. Dirawat dan dikembangkan lebih lanjut. Tidak ada salahnya, masyarakat Muslim mengetahui lebih dekat wasiat-wasiat Baginda Nabi. Sumber syariat kedua setelah Al-Qur’an.



Dalam karyanya yang berjudul Qawaid al Tahdits, Syekh Jamaluddin al-Qasimi (1866-1914 M) mengidentifikasi tiga metode belajar hadits. Masing-masing memiliki kelebihan. Tepat untuk satu orang, belum tentu yang lain.


Pertama, metode al-sardu (membaca cepat). Bentuknya, guru membacakan hadits secara cepat. Mengkhatamkan satu judul kitab. Tanpa disertai penjelasan berarti. Baik dari sisi bahasa ataupun fiqih. Termasuk tidak menjelasan nama-nama perawi hadits. Murid fokus menyimak. Mendapatkan sanad.



Kedua, metode al-hall wa al-bahts (mengurai dan meneliti). Setiap selesai membaca satu hadits, diberi jeda. Guru menjelaskan sanad dan matan. Kata yang kurang familiar (ghorib), kedudukan secara gramatikal, dan lain sebagainya. Di titik ini, ilmu bahasa dan tata bahasa Arab sangat berfungsi. Menjadi basis analisia. Baik ilmu nahwu, sharaf, ataupun balaghah. Termasuk juga mengurai biografi masing-masing perawi. Disertai dengan menyimpulkan makna hadits. Setelah itu, lanjut ke hadits berikutnya. Begitu seterusnya. Hingga mengkhatamkan satu judul kitab. Membutuhkan waktu relatif lebih lama. Dibanding dengan metode pertama.



Ketiga, metode al-im’an (mendalami makna). Mempelajari secara detail, per kalimat. Membahas sisi gramatikal Arab, nahwu, sharaf, dan balaghah. Menyebutkan syawahid dari syair-syair Arab. Mengulas asal kata (isytiqaq) beserta varian penggunaannya. Dibahas biografi masing-masing perawi. Mulai dari latar belang nasab, rihlah ilmiah, hingga kredibilitasnya. Setelah itu, dikaji masalah fiqihnya. Kaitannya dengan ayat Al-Qur’an dan riwayat hadits lain. Ditambah lagi dengan kisah-kisah terkait. Tujuannya, pendengar dapat memahami dengan mudah, luas, dan detail. Untuk khatam satu judul kitab, tentu membutuhkan waktu lama. Lebih lama dibanding yang kedua.



Mengutip pendapat tiga ulama hadits sebelumnya; Syekh Hasan al-‘Ujaimi (1113 H), Maulana Waliyyullah al-Dahlawi (1176 H), dan Syekh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi (1194 H), Syekh Jamaluddin al-Qasimi menegaskan bahwa masing-masing metode ini, memiliki kelebihan dan kecocokan masing-masing. Metode pertama cocok untuk pangkaji hadits yang sudah pakar. Tujuan pembacaan cepat adalah untuk memperbanyak sanad. Mengambil faidah pembacaan hadits dari banyak guru. Dalam waktu relatif singkat, murid banyak mendapatkan sanad hadits dan judul kitab.



Metode kedua tepat untuk pelajar hadis tingkat menengah. Sedari menyimak pembacaan hadits, mereka akan terbiasa bagaimana ilmu hadits dipraktikkan sebagai pisau analisa. Baik analisa matan ataupun sanad. Terlebih tekait menimbang kualitas perawi hadits (jarh dan ta’dil). Termasuk kaitan ilmu lain, gramatikal Arab, ushul fiqih, tafsir, dan fiqih.


Sedangkan metode ketiga cocok untuk masyarakat awam dan pelajar hadits tingkat pemula. Mengkaji hadits tidak membosankan dan berat. Karena disampaikan dengan ringan. Diselipi dengan kisah-kisah terkait. Terlepas dari karakter dan kelebihan masing-masing, 3 metode ngaji hadits ini dapat saling melengkapi. Disesuaikan dengan peserta kajian.

Lantas tertarikah Anda?


 

Kiai Muhammad Hanifuddin, Ketua LBM PCNU Tangsel dan Dosen Ma’had Darus-Sunnah Jakarta