• logo nu online
Home Nasional Banten Raya Warta Keislaman Tokoh Khutbah Sejarah Opini Pesantren NU Preneur Ramadhan 2023
Senin, 29 April 2024

Pesantren

Pondok Pesantren Jamiatul Ikhwan Malanggah, Tunjung Teja, Kabupaten Serang

Pertahankan Tradisi seperti Sorogan dan Bandongan, Ingin Dirikan Ma’had Aly

Pertahankan Tradisi seperti Sorogan dan Bandongan, Ingin Dirikan Ma’had Aly
Pintu gerbang Pondok Pesantren Jamiatul Ikhwan di Malanggah, Tunjung Teja, Kabupaten Serang, Banten. (Foto: NUOB/Ade Adiyansah)
Pintu gerbang Pondok Pesantren Jamiatul Ikhwan di Malanggah, Tunjung Teja, Kabupaten Serang, Banten. (Foto: NUOB/Ade Adiyansah)

SIANG itu, sekilas dari luar pondok pesantren ini terlihat lengang. Di bagian atas gerbang jelas tertulis Pondok Pesantren Jamiatul Ikhwan SMP, SMK, MA, dan Majelis Taklim. Namun, setelah masuk ke area pesantren yang sebagian bangunannya dipisahkan dengan jalan yang hanya muat satu kendaraan roda empat itu, sejumlah santri tampak beraktivitas. Ada yang antre mengaji dengan santri senior, ada beberapa santri yang belajar dengan membuka buku masing-masing, ada yang terlihat beli keperluan ke warung yang ada di dekat pintu gerbang utama. Ada juga yang mengaji Al-Qur’an langsung ke KH Tb Ahmad Khudori Yusuf, pengasuh pesantren yang berdiri pada 1997 di Malanggah, Tunjung Teja, Kabupaten Serang, Banten, itu.

 


Pesantren yang dari keluar tol Tunjung Teja, jarak tempuhnya menggunakan kendaraan hanya sekitar lima menitan itu, awalnya adalah pesantren salafiyah. ’’Ngaji biasa, kitab kuning. Tidak ada sistem klasikal,’’ ujar pengasuh Kiai Khudori yang menimba ilmun di Madinah, Arab Saudi, empat tahun itu, kepada NUOB, Selasa (15/8/2023) siang.

 


Pesantren salafiyah itu, dirintis oleh ayah dari KH Khudori, Kiai Yusuf. Warga sekitar yang mengaji tidak mondok, tidak menginap. Datang waktu mengaji dan pulang setelah selesai. Langsung pulang pergi. Namun, seiring berjalannya waktu, tepatnya pada 1997, menggelar pendidikan formal.’’Awalnya hanya SMP dan madrasah aliyah. Yang SMP sekitar 150 siswa, sedangkan yang Aliyah kurang lebih 100 pelajar. Adapun untuk SMK yang spesifikasinya multimedia, baru mulai dua tahun lalu, ada 50 pelajar. Mereka kebanyakan dari luar Tunjung Teja. Kalau yang ikut madrasah diniyah dan majelis taklim, dari warga sekitar. Pulang pergi, tidak mondok. Madrasah diniyah dari habis Dhuhur hingga sore,’’ imbuh kiai yang mempunyai 8 anak itu sembari sesekali jemarinya menggerakkan batang rokok filter yang berbungkus hitam.

 


Bagi yang ingin menimba ilmu, tepatnya sekolah di pesantren ini, ada infak Rp 1 juta dan untuk syahriyah, sudah termasuk makan tiga kali, Rp 500 ribu per bulan. ’’Jumlah santri yang di sini, ya pasang surat. Hanya tidak pernah kurang dari 150 orang. Kalau yang khusus ngaji kitab kuning dan tahfidz saat ini ada 60 orang. Kitab kuning, di antaranya saya yang ngajar. Untuk tahfidz, putra saya,’’ ungkap kiai yang pernah ngaji di Pondok Pesantren Warudoyong, Sukabumi, asuhan KH Badruddin Shofiyullah, itu.

 


Sekadar diketahui, Pesantren Warudoyong didirikan oleh Al-Magfurlah KH Inayatillah bin Abdul Aziz. KH Inayatillah adalah salah seorang murid dari Mama Ajengan KH Syatibi Gentur.  Pesantren Al-Wardayani atau yang lebih dikenal dengan Pesantren Warudoyong, adalah pesantren yang menjadi salah satu referensi pesantren alat di wilayah Pulau Jawa khususnya Jawa barat dan Banten.

 


Kiai berkacamata yang mengenakan baju lengan panjang bercorak hijau dan peci putih dan bersarung cenderung itu menambahkan, kurikulum yang diterapkan di pesantrennya adalah kurukulum terpadu. Perpaduan dari sejumlah pesantren.’’Di antaranya, Apik Kaliwungu, Tebuireng Jombang, dan sini sendiri,’’ tambah kiai yang bersaudara kandung 7 orang itu.



Terkait aktivitas keseharian, para santri dibangunkan sebelum Subuh untuk qiyamullail. Dilanjut Shalat Subuh berjamaah. Setelah wiridan, ada tahsin dan ngaji kitab hingga pukul 06.30 WIB. Setelah istirahat, sarapan, dan mandi, pukul 08.00-12.00 WIB mengikuti pembelajaran sekolah. Setelah Shalat Dhuhur, ada sorogan, terutama bagi pemula hingga pukul 14.00. Dilanjut muraja’ah hingga Asar. Habis Asar istirahat dan mandi.

 


’’Lalu Shalat Maghrib berjamaah, wiridan, dan habis Isya ada pengajian kitab. Kitab-kitab yang diajarkan di sini antara lain Mukhtashar Jiddan, Alfiah Ibnu Malik, Taqrib, dan Jalalain,’’ tambah kiai yang punya tiga istri tersebut.

 


Pada kesempatan itu, Kiai Khudori mengaku tidak khawatir meski pesantren yang berdiri di tanah seluas 1 hektare itu tidak di satu titik. Memang, akses pesantren ada pintu dan gerbang yang bisa ditutup dengan pintu besi. Tapi, satu titik lagi ada di seberang jalan. Maklum, sebagian bangunan pesantren terpisah oleh jalan.



’’Di sekitar pesantren ini kan masih saudara. Jadi kalau ada apa-apa terkait santri, bisa tahu,’’ terang pria yang sempat mengajar satu tahun di Pesantre Nur El Falah, Kubang, Petir, dan masih ada hubungan persaudaraan dengan keluarga pesantren tersebut.

 


Di pesantren ini, santri hanya boleh dikunjungi sebulan sekali. Selain itu, santri boleh pulang setahun dua kali. Tepatnya saat libur sekolah.’’Santri yang sakit, pesantren hanya menangung Rp 150 ribu untuk berobat. Kami juga tentu punya wiridan rutin. Ya, wiridan Wali Songo,’’ tegasnya.


Ke depan, Kiai Khudori yang juga sebagai ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kabupaten Serang itu, ingin pesantren yang didirikan tetap mempertahankan tradisi pesantren, seperti sorogan, bandongan, dan seterusnya. Di samping mengikuti perkembangan yang ada. ’’Ingin suatu saat nanti ada Pondok Pesantren Terpadu Ma’had Aly di Malanggah ini,’’ harap Rais Syuriyah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama Kabuapten Serang, itu, tersenyum. (M Izzul Mutho/Ade Adiyansah)


Editor:

Pesantren Terbaru