Opini

Merajut Kerukunan setelah Pemilihan Kepala Daerah

Rabu, 4 Desember 2024 | 16:00 WIB

Merajut Kerukunan setelah Pemilihan Kepala Daerah

Tampak salah seorang pemilih memasukkan kertas suara ke kotak suara pada Pilkada Serentak 2024 di salah satu TPS di Tangerang Selatan, Banten, Rabu (27/11/2024). (Foto: Dok Pribadi)

PEMUNGUTAN suara Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 berlangsung pada Rabu (27/11/2024). Antusiasme masyarakat dalam menyalurkan hak suara, sangat tinggi, dari mulai pemilih pemula hingga lansia. Ini menandakan bahwa kesadaran berpolitik dalam menentukan masa depan daerah masing-masing menunjukkan tren kenaikan, bullish yang sangat signifikan. Sistem Pilkada Serentak 2024 ini adalah yang kelima kalinya diselenggarakan di Indonesia, sekaligus pertama kalinya melibatkan 37 provinsi dan 508 kabupaten/kota. Sebuah pesta demokrasi yang fantastik!



Para pemilih harap-harap cemas, dag dig dug, dan tegang ketika melihat perolehan suara sementara versi penghitungan suara cepat (quick count) yang disajikan oleh lembaga-lembaga survei atas jagoan mereka. Tidak sedikit dari mereka yang bahagia karena jagoan yang mereka coblos, unggul sementara atas calon lain, sehingga mereka harus terus memantau pergerakan suara yang masuk dalam tabulasi quick count.



Para pemilih, pendukung, tim sukses, dan kandidat calon pimpinan daerah harus mengetahui bahwa penghitungan cepat versi quick count dari lembaga-lembaga survei, bukanlah hasil akhir. Rekapitulasi suara akan dilakukan secara manual dan berjenjang, mulai dari TPS di daerah hingga ke Komisi Pemungutan Suara (KPU) di tingkat nasional. Oleh karena itu, proses penghitungan suara memakan waktu beberapa hari hingga Senin (16/12/2024). Penghitungan suara tersebut, sebagaimana disebutkan dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 17 Tahun 2024.



Berbeda Boleh Terpecah Jangan

Berbeda pilihan politik sah dan boleh-boleh saja, tetapi jangan sampai membuat kita terpecah belah dan tercerai-berai sebagai anak bangsa. Keakuran, kerukunan, dan harmoni antarpendukung pasangan calon harus dirajut kembali pasca-Pilkada 2024. Jangan sampai meninggalkan residu kebencian akut, saling intip kesalahan, dan bahkan saling lapor ke pihak berwajib hanya disebabkan hal sepele. Kedewasaan berpolitik harus ditunjukkan oleh semua pihak yang terlibat dalam kontestasi Pilkada 2024.



Para elite politik prominen di Indonesia harus mampu menjaga stabilitas dan koherensi masyarakat akar rumput dengan tidak memproduksi narasi-narasi insinuatif dan melempar postulat politik yang kabur, dan mereka harus dapat menyelesaikan kebuntuan-kebuntuan politik, bottle-necking, sebagai ekses pilkada, sehingga masyarakat awam yang sedang ‘terbakar’ karena calon-calon yang didukung kalah, mencercap sebagai kebenaran sehingga situasi menjadi chaos dan disorder yang akan berimplikasi terhadap ‘pembangkangan’ kepada kepala daerah yang baru, sehingga menimbulkan disintegrasi bangsa, di saat kita membutuhkan persatuan dan kesatuan demi membangun Indonesia agar dapat sejajar dengan negara-negara raksasa dunia.


Para politisi juga harus mengajari konstituennya, bahwa demokrasi bukanlah berbeda dalam kebencian, caci makian, dan baku hantam, karena demokrasi sejatinya berisikan dialektika gagasan demi kemajuan berkesinambungan bangsa Indonesia. Setiap anak bangsa harus bersikap aposteriori dan mulai menanggalkan sikap apriori dalam kehidupan berbangsa agar tercipta kohesivitas dan harmoni bersama demi menjadi sebuah bangsa yang unggul, terdepan, dan berperadaban luhur.




Mereka yang berhasil memenangi kontestasi Pilkada 2024, jangan lantas jumawa, adigang adigung adiguna. Di sisi lain, mereka yang kalah tidak serta merta menggerakkan para pendukung turun ke jalan, dan melakukan pengadilan jalanan, street justice. Tetapi, mereka dapat menggunakan saluran hukum yang berlaku, yakni Mahkamah Konstitusi. Ini adalah langkah terhormat dan bermartabat. Pada akhirnya, putusan Mahkamah Konstitusi harus ditaati, karena bersifat final dan mengikat.



Sebagai anak bangsa, kita harus menyukseskan agenda demokrasi, pergantian para gubernur, bupati dan wali kota yang dijadwalkan akan berlangsung pada 7 Februari 2025 dan 10 Februari 2025. Gubernur dan wakil gubernur hasil Pilkada 2024 akan dilantik oleh presiden. Sedangkan, wali kota dan wakil wali kota serta bupati dan wakil bupati akan dilantik oleh gubrernur.



Pascapelantikan, para pejabat hasil Pilkada 2024, diharuskan tancap gas, bekerja untuk masyarakat. Jangan sampai waktu 5 tahun yang dimandatkan tidak menghasilkan legency, apa-apa dan masyarakat hanya dimanfaatkan sebagai potential vote getter, semata. Jika ini terjadi, antusiasme masyarakat yang tinggi akan memudar, dan mereka menjadi apatis terhadap proses pergantian pemimpin Indonesia mendatang.



Para pejabat hasil pilkada 2024 harus mulai bekerja berdasarkan visi dan misi menjadi program kerja seperti yang telah dikampanyekan di depan publik. Janji politik harus ditunaikan. Masyarakat pemilih dalam hal ini, dapat melakukan check dan balance, sebuah mekanisme untuk menjaga keseimbangan dan mengontrol, antara janji politik dan realitas program politik. Jangan sampai terulang, pejabat yang kita pilih hanya tebar pesona, bukan tebar program kemakmuran untuk rakyat.



Pada akhirnya, pergantian para pemimpin hasil Pilkada 2024, harus dapat dilalui dengan proses soft landing, sebuah pergantian kekuasaan yang tidak menimbulkan gejolak politik fatal di daerah-daerah pemilihan. Dengan demikian, adalah sebuah kewajiban bagi kita untuk bersikap dewasa dan mendewasakan para pemilih bersumbu pendek agar dapat menggunakan kewarasan akal pikiran dan ketajaman hati nurani.

Wallahu A’lamu Bishawab

 



Kiai Hadi Susiono Panduk, Kolumnis Muslim, Kelahiran Undaan Kidul, Kudus, Jawa Tengah; Alumnus Pondok Pesantren Sabilillah, al-Khoirot dan MA Nahdlatul Muslimin, Kudus dan Universitas Diponegoro Semarang; Wakil Rais Syuriyah PCNU Kabupaten Lebak, Pengurus MUI  Kabupaten Lebak, Dewan Pakar ICMI Orwil Banten, dan Majelis Pakar P2i Provinsi Banten.