Opini

Nusantara Baru, Santri Mendunia

Kamis, 7 November 2024 | 16:10 WIB

Nusantara Baru, Santri Mendunia

Ilustrasi santri beradaptasi dengan perubahan zaman tanpa kehilangan identitas. (Foto: Freepek)

SEJAK dari umur 5 tahun, saya bersekolah di Pondok Pesantren al-Ittifaqiah Indralaya, hingga detik ini, saya masih menjadi santri di Ma’had al-Jami’ah UIN Raden Intan Lampung, sebuah pesantren kampus. Selama itu juga saya mengalami langsung bagaimana pendidikan pesantren membentuk karakter kuat dan memberikan bekal untuk menghadapi tantangan global.


Melalui pengalaman saya ini, selain membentuk karakter, juga membuka jalan untuk berperan lebih luas. Salah satunya, melalui peran saya sebagai duta kampus. Saya memiliki kesempatan untuk memperkenalkan nilai-nilai pesantren dan membangun jembatan antara pendidikan Islam dan dunia modern.


Di sisi lain, hal ini secara tidak langsung membuang stigma yang mendikte bahwa santri hanya mampu bergerak di bidang mengaji. Peranan kaum santri dari awal perjuangan merebut kemerdekaan hingga dapat menikmatinya saat ini tidak dapat diabaikan begitu saja. Merekalah yang memberikan keyakinan kepada rakyat Indonesia yang pada saat itu, harga diri dan martabatnya sedang diinjak-injak penjajah dan dicap sebagai bangsa rendahan. Dari gerakan perlawanan bersenjata hingga jalur diplomasi, keyakinan akan syahid-lah yang memberikan keberanian kepada mereka untuk melawan kaum kolonial Barat yang menganggap dirinya sebagai ras kulit putih yang unggul (Ahmad Royani, 2018).


Suka atau tidak, kemerdekaan yang sudah kita reguk selama 79 tahun ini tidak lepas dari peran pesantren (Fauzi, 2017). Jauh sebelum pesantren banyak terbentuk, "pesantren" masih menjelma menjadi kesultanan atau kerajaan-kerajaan Islam. Kita semua mungkin sudah mafhum dengan perjuangan raja-raja Islam dari mulai Demak, Cirebon, Banten, Mataram, Ternate-Tidore, dan juga Aceh. Aceh bahkan waktu itu menjalin komunikasi dengan Kesultanan Turki Utsmani untuk menggalang dukungan dan bantuan.



Sejarah mencatat, banyak tokoh pergerakan nasional berasal dari kalangan santri, seperti KH Hasyim Asy’ari dan KH Wahid Hasyim, yang berperan aktif dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Selain itu, santri juga dikenal sebagai penjaga nilai-nilai kebudayaan lokal yang kaya dan beragam. Di berbagai daerah, pesantren menjadi benteng yang mempertahankan kearifan lokal, sembari tetap membuka diri terhadap perkembangan zaman. Salah satu contoh yang penulis temukan di Ma’had al-Jami’ah UIN Raden Intan Lampung, dalam 1 bulan sekali, di sana akan mengadakan kegiatan yang dinamai muhadharah. Kegiatan ini merupakan pentas seni dan pidato 3 bahasa yang diisi oleh para santri Ma’had al-Jami’ah UIN Raden Intan Lampung. Pidato yang ditampilkan pun merupakan campuran dari 3 bahasa daerah yang berbeda, seperti bahasa Lampung, Jawa, Sunda, Palembang, hingga Padang.


Tidak hanya itu, dekorasi panggung yang dipersembahkan pun berasal dari karya tangan para santri. Bahkan luar biasanya, setiap edisi kegiatan muhadharah ini dapat disaksikan di channel YouTube milik Ma’had al-Jami’ah UIN Raden Intan Lampung dengan nama @Mahad raden intan. Hal ini menunjukkan bahwa santri tidak menutup mata dari perkembangan digital di zaman teknologi dan globalisasi.


Berbicara tentang era globalisasi, saat ini santri tidak lagi hanya berperan dalam lingkup nasional. Berbekal pendidikan agama yang kuat, keterampilan bahasa, dan nilai-nilai luhur, santri kini semakin berperan di kancah internasional. Banyak santri Indonesia yang melanjutkan studi ke luar negeri, mengajar di universitas Islam internasional, hingga menjadi ulama atau cendikiawan terkemuka dan dihormati. Inilah keistimewaan santri. Mereka bukan hanya mengajarkan ilmu pengetahuan, melainkan juga memperkenalkan nilai-nilai keislaman. Contoh nyata adalah banyaknya alumni pesantren yang berkiprah di berbagai negara, baik sebagai mahasiswa, maupun akademisi.



Sebut saja Ahmad Fakhrurrozi, salah satu santri di Ma’had al-Jami’ah UIN Raden Intan Lampung yang mengikuti KKN Internasional ke Thailand. Tidak hanya melaksanakan tugasnya sebagai mahasiswa di sana, tetapi dia juga mampu memperkenalkan Islam ala Nusantara. Ini merupakan contoh kecil bagaimana santri dapat beradaptasi bahkan memperkenalkan Islam di mana saja dan kapan saja.



Santri yang mendunia ini menunjukkan bahwa pesantren telah menjadi tempat yang melahirkan generasi yang siap bersaing di tingkat global tanpa kehilangan identitas keislaman dan kebangsaan. Dalam menghadapi tantangan globalisasi, santri tidak hanya dituntut untuk mempertahankan identitas keislaman dan kebangsaan mereka, tetapi juga menjadi agen perubahan di berbagai bidang. Tantangan yang dihadapi oleh santri di era modern ini tidak sedikit, termasuk modernisasi budaya, perkembangan teknologi, hingga kemajuan pendidikan. Namun, santri juga berpeluang untuk menjadi tokoh penting dalam perubahan sosial di dunia. Misalnya santri yang menguasai teknologi dan literasi yang dapat memanfaatkan platform digital untuk menyebarkan ajaran-ajaran Islam yang moderat dan toleran.


Dengan demikian, santri memiliki peran penting dalam menjawab tantangan masa depan, menjadi pendorong perubahan di skala dunia. 79 tahun sudah Indonesia merdeka dan perjalanan saya sebagai santri, telah memperkuat keyakinan bahwa santri memiliki peran strategis dalam memperkuat Nusantara dan membawa nama santri dan Indonesia mendunia.



Santri adalah cerminan dari kekuatan budaya dan spiritual Nusantara yang kaya, yang mampu beradaptasi dengan perubahan zaman tanpa kehilangan identitasnya. Pada akhirnya, santri adalah simbol kekuatan dan harapan masa depan yang mendunia, yang terus berkembang dengan menjaga akar tradisi mereka sambil melangkah maju di era globalisasi.

 

Muhammad Rifki Pratama, Ma’had al-Jami’ah UIN Raden Intan Lampung