Abdul Kholiq
Kolomnis
Biasanya bulan Ramadhan sering dikaitkan dengan ibadah puasa. Tapi, di dalam Al-Qur’an Allah SWT memuliakan bulan Ramadhan bukan karena ibadah puasanya, melainkan karena turunnya Al-Qur’an. Ibadah puasa berkaitan dengan diri manusia, tetapi turunnya Al-Qur’an berkaitan dengan Tuhan.
Sesuatu akan menjadi mulia karena ada kaitannya dengan Tuhan bukan karena ada kaitannya dengan manusia. Begitu manusia digelari khalifah (wakil Tuhan), maka di saat itulah ia menjadi mulia karena ada relasi antara dirinya dan Tuhan.
Ramadhan sendiri maknanya adalah membakar. Jadi, syahru ramadhan adalah bulan ketika manusia membakar nafsu dan egonya. Itulah ramadhan. Karena itu, kalau di bulan ramadhan, kita tidak membakar nafsu dan ego, maka sebenarnya kita tidak berpuasa.
Baca Juga
Ketentuan Puasa Ramadhan
Karena itu, Nabi Muhammad SAW mensinyalir bahwa begitu banyak orang berpuasa, tapi yang didapat hanya lapar dan dahaga. Karena, tidak ada perkembangan spiritual dalam dirinya. Maka itu, para sufi mengartikan ”syahru Ramadhan” sebagai momen-momen membakar jiwa dalam arti membakar nafsu dan ego.
Di saat kita membakar nafsu dan ego, maka di saat itulah Al-Qur’an turun pada jiwa kita. Bukan berarti Al-Qur’an itu baru. Al-Qur’an telah turun kepada Nabi Muhammad SAW 15 abad yang lalu dan tidak akan turun lagi. Tapi Al-Qur’an masuk ke dalam jiwa sehingga kita menjiwai Al-Qur’an. Di saat itulah laylat-u ’l-qadr (malam Qadr) terjadi. Dan Al-Qur’an pun hidup dalam diri kita. Nah, dengan adanya laylat-u ’l-qadr ini, bulan Ramadhan menjadi bulan mulia.
Baca Juga
Ramadhan Bulan Berbagi
Menahan Diri adalah Fitrah Manusia
Sudah tercatat dalam diri manusia suatu kualitas menahan diri, yaitu bahwa manusia tidak akan melakukan hal sembarang meski seburuk apa pun manusia itu. Karena, di dalam diri manusia ada kualitas dan karakter ’menahan diri’ dari melakukan perbuatan-perbuatan tertentu, yang bisa dikatakan sebagai fitrah manusia.
Baca Juga
Ziarah Kubur Menjelang Ramadhan
Sebagai misal, kita bisa saja datang ke suatu tempat publik tanpa pakaian, tapi kita menahan diri dari perbuatan itu karena ada dorongan dalam diri kita untuk tidak melakukan hal itu.
Shiyam berarti menahan diri dari melihat, mendengar, mencium, menyentuh, dan merasakan sesuatu yang bisa merusak jiwa, bukan hanya menahan diri dari makan, minum, dan berhubungan intim. Bahkan, shiyam bukan hanya menahan diri dari hal yang berkaitan dengan indra, tapi lebih dari itu, hal yang berkaitan dengan pikiran dan imajinasi.
Di dalam Al-Qur’an, ada ayat yang menyuruh kita, lelaki dan perempuan, untuk menundukkan pandangan satu sama lain. Di sini kita diperintahkan untuk menundukkan pandangan bukan hanya pandangan indra, tapi juga pandangan imajinasi. Pada level hakikat, malah, shiyam berarti menahan diri dari melihat selain Tuhan. Yang dilihat adalah Allah semata.
Nah, puasa atau menahan diri adalah kehidupan yang kita warisi sejak awal. Karena, semua kita, bahkan semua yang ada di langit dan di bumi ini berasal dari Tuhan. Berasal dari Tuhan berarti ada sesuatu yang kita bawa dari Tuhan.
Sebagai ilustrasi, kalau kita berasal dari Surabaya berarti kita tahu bagaimana budaya Surabaya, dialek orang Surabaya, bahasa Surabaya dan sebagainya mengenai Surabaya. Begitu juga halnya, kalau kita berasal dari Tuhan. Karena itu, bagaimana mungkin kita tidak tahu tentang Tuhan sama sekali. Allah SWT berfirman:
Maka apabila Aku telah menyempurnakan kejadiannya, dan telah meniupkan ke dalamnya ruh (ciptaan)-Ku, maka tunduklah kamu kepadanya dengan bersujud. (al-Hijr [15]: 29).
Ada sesuatu yang Tuhan titipkan dalam diri kita, yaitu ruh-Nya. Ruh Tuhan dihembuskan ke dalam diri kita, ini berarti kehadiran Tuhan ada di dalam diri kita, tapi kadang kita tidak merasakannya.
Ketika kita menahan diri dari segala perbuatan yang merusak jiwa, pelan-pelan kita akan merasakan kehadiran Tuhan atau ruh Tuhan di dalam diri kita. Dan kehidupan kita pun akan berubah menjadi suatu kehidupan spiritual.
Jadi, ayat di atas berarti: ”Wahai orang-orang beriman, telah diwariskan kepada jiwa kamu menahan diri supaya kamu bisa menyadari kehadiran-Ku di dalam diri kamu sebagaimana sudah tercatat kepada mereka sebelum kamu moga-moga kamu bertakwa.”
Puasa di antara Ibadah-ibadah yang lain
Di kalangan para sufi ada pembahasan, apakah puasa itu satu perbuatan atau bukan. Kalau kita lihat shalat, maka ia adalah suatu yang kita lakukan. Kalau kita pergi haji, thawaf, ataupun sa’I, maka ia adalah perbuatan yang kita lakukan.
Kalau kita membayar zakat, maka ia adalah juga hal yang kita lakukan. Tetapi lain dengan puasa. Ia adalah hal di mana kita tidak melakukan perbuatan. Kita menahan diri dari melakukan sesuatu. Karena itu, sebagian sufi menyatakan bahwa puasa berbeda dari ibadah yang lain.
Bahkan, tidak ada ibadah yang serupa dan sama dengan puasa. Hal ini cocok sekali dengan hadis Qudsi di mana Allah menyatakan, semua ibadah punya puluhan ganjaran-pahala kecuali puasa karena puasa adalah untuk-Nya. Kenapa demikian? Karena, tidak ada yang serupa dengan puasa, sebagaimana tidak ada yang serupa dengan Allah.
Ada hadis yang menyatakan, ketika orang berpuasa, maka Allah yang akan memberikan ganjaran padanya. Bahkan, sebagian orang menafsirkan bahwa Allah sendiri adalah ganjarannya.
Ketika berpuasa, kita mulai menghilangkan diri kita dengan tidak melakukan perbuatan karena kita tahu bahwa manusia mengekspresikan keberadaannya dengan melakukan perbuatan.
Sebagai misal, ketika kita tidak melakukan perbuatan apa pun, seperti tidur, maka ego kita tidak terekspresi. Maka, dapat dimengerti jika di dalam sebuah hadis dikatakan bahwa tidur itu ibadah meski dimaknai secara literal sekalipun.
Akan tetapi, para sufi memaknai tidur di sini bukan tidur secara fisik, tapi tidurnya ego. Ketika ego kita tidak sadar atau tidak aktif, maka ia adalah ibadah. Ibadah dalam arti ketika manusia tunduk dan rendah hati kepada Tuhan.
Penjelasan ini berkaitan dengan dua riwayat lain, bahwa Nabi SAW pernah menyatakan bahwa tujuan berpuasa adalah supaya kita merasakan kesusahan orang lain. Saya melihat tujuan yang Nabi SAW ungkapkan ini adalah tujuan sosial saja, bukan tujuan puncak berpuasa. Karena, kalau kita lihat orang-orang hidup di pinggir jalan yang memang hidup mereka setiap malam susah mendapat makanan dan minuman sepanjang tahun bukan di bulan Ramadhan saja, maka mereka jelas tidak perlu berpuasa karena mereka sudah terbiasa dengan kesusahan itu.
Jadi, tujuan yang Nabi ungkapkan di situ adalah tujuan sosial untuk mereka yang hidup agak mewah supaya mereka bisa merasakan kehidupan orang-orang yang susah. Para sufi menyatakan, tujuan puncak puasa atau menahan diri adalah supaya manusia bisa hidup seperti malaikat.
Sebagaimana malaikat tidak makan dan tidak minum, di dalam bulan puasa, manusia juga tidak makan dan tidak minum. Bahkan, sebagian menyatakan lebih dari kehidupan malaikat, yaitu kehidupan Tuhan itu sendiri. Sebagaimana Tuhan tidak makan dan tidak minum, di dalam bulan puasa, manusia juga tidak makan dan tidak minum.
Puasa sebagai Perisai Diri
Di dalam Al-Qur’an Allah menyatakan bahwa tujuan kita berpuasa adalah agar atau moga-moga kita menjadi orang yang bertakwa. Takwa di sini tidak ada kaitannya dengan takut. Takwa berasal dari kata Arab wiqayah yang memiliki arti menjaga, melindungi, mengawas atau perisai.
Orang berperang, misalnya, memakai perisai supaya menjaga dan melindungi tubuhnya dari senjata. Karena itu, takwa adalah perisai diri. Nah, kita berpuasa atau menahan diri agar kita terkawal, terjaga, dan terlindungi dari ekspresi ego atau nafsu yang tidak terkontrol. Ketika marah, misalnya, kita bicara lebih cepat dari kerja otak kita.
Nah, dengan takwalah, mulut kita akan terjaga dari sumpah serapah, kata-kata yang tidak baik, dan menyakiti hati orang. Cuma bahasa Tuhan di situ ’moga-moga’ itu berarti ada unsur usaha dari manusia, bukan hanya karunia Allah. Manusia harus berusaha ”menahan diri,” baru dirinya akan terjaga.
Fitrah dan Ketenangan Jiwa
Nah, puasa atau menahan diri ini diwajibkan dalam beberapa hari yang sudah ditentukan dalam syari’ah, yaitu biasa kita kenal bulan Ramadhan. Dalam dunia tasawuf ”beberapa hari” ini berarti ”sepanjang hidup.” Sepanjang hidup kita harus menahan diri.
Di saat manusia mulai menahan diri, maka jiwanya mulai terkendali dan terkawal karena egonya tidak terekspresi. Ketika itulah, maka egonya mulai lebur dan hilang dan kehadiran Tuhanlah yang dirasakan. Orang seperti ini, ketika dirinya sakit, yaitu ”sakit rindu” karena terpisah dari Tuhan, atau dalam perjalanan dirinya mendekat kepada Tuhan merasa takut karena keagungan-Nya, maka ia dianjurkan untuk ”menenangkan diri” dulu kemudian baru melanjutkan perjalanannya menuju Allah pada hari yang lain saja.
”Sakit rindu” terjadi karena adanya jarak antara dirinya dan Tuhan. Jarak sendiri dapat dikategorikan menjadi dua, yaitu jarak waktu dan jarak ruang. Jarak inilah, baik waktu maupun ruang, menunjukkan adanya keterpisahan diri dengan sang Khalik.
Nah, ibadah yang kita lakukan adalah untuk menghilangkan jarak ini, yaitu untuk mendekatkan diri kepada Allah. Sebenarnya, tidak ada jarak waktu ataupun ruang antara diri kita dan Tuhan. ”Dia bersama kita di manapun kita berada,” kata Al-Qur’an.
Problemnya, mengapa kita tidak merasakan kehadiran Tuhan? Kehadiran Tuhan seyogyanya kita rasakan secara fisik dalam ruang dan waktu hingga dalam emosi dan perasaan kita. Ketika kita sedang bersedihpun, Dia bersama kita.
Makanya, ketika kita tidak merasakan kehadiran Tuhan, masalahnya sebenarnya terletak pada ’kesadaran,’ bukan pada jarak ruang dan waktu. Seperti halnya kita tidur dan di sebelah kita ada seseorang, tapi kita tidak sadar kita bersamanya karena kita sedang tidur. Dapat juga diilustrasikan dengan suami istri yang duduk berdua di satu meja sarapan pagi dan minum kopi sama-sama sibuk dengan BB (Blackberry) mereka masing-masing. Tidak sadar bahwa yang duduk di sebelah adalah suami atau istrinya.
Jarak kesadaran ini ada karena manusia terikat oleh kehidupan dunia yang memesona, dan selalu membuat manusia ”sakit rindu” atau bisa kita sebut gelisah, tidak tenang. Karena itu, ketika manusia mendekatkan diri kepada Tuhan, maka seyogyanya dia menjauhkan diri dari kehidupan dunia ini.
Hal ini bukan berarti ia melepaskan dirinya dari dunia. Dia tidak terikat kepada dunia. Ketika dirinya tidak terikat, maka dia sedang berada dalam perjalanan menuju kepada Tuhan. Maka Tuhan pun memanggil dirinya. Jiwa yang tenang. Tuhan tidak pernah memanggil jiwa yang takut atau jiwa yang sakit. Allah SWT berfirman:
Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas lagi diridhai-Nya. Maka masuklah ke dalam jama’ah hamba-hamba-Ku. Masuklah ke dalam syurga-Ku (al-Fajr [89]: 27-30).
Demikianlah, dengan hadirnya Tuhan di dalam diri kita, kita mendapatkan ketenangan jiwa. Wa ’l-Lâh-u A’lam bi ’l-Shawâb.
Abdul Kholiq, Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Al Amanah Al-Gontory, Pengurus Lakpesdam PCNU Jakarta Selatan
Terpopuler
1
Dakwah Harus Berbentuk Aksi Nyata, Bukan Hanya Berhenti di Atas Mimbar
2
Temui Menkum, Mudir 'Ali Sampaikan Keabsahan JATMAN 2024-2029
3
Sampaikan Belasungkawa, Presiden Prabowo Ingat Momen Paus Fransiskus ke Jakarta
4
Khutbah Jumat: Balasan Kebaikan Adalah Kebaikan Selanjutnya
5
Ketum PBNU Respons Kritik AS soal Aturan Sertifikasi Halal di Indonesia
6
Sampaikan Dukacita, Ketum PBNU Kunjungi Kedubes Vatikan
Terkini
Lihat Semua