• logo nu online
Home Nasional Banten Raya Warta Keislaman Tokoh Khutbah Sejarah Opini Pesantren NU Preneur Ramadhan 2023
Senin, 29 April 2024

Opini

Tak Perlu Berlagak Alim, Ini Untungnya Mengaji Fiqih

Tak Perlu Berlagak Alim, Ini Untungnya Mengaji Fiqih
Halaman muka Kitab Safinatun Najah. (NUO)
Halaman muka Kitab Safinatun Najah. (NUO)

JIKA seseorang ingin Allah mengirim kebaikan untuknya, maka, mengaji agama. Sebaliknya, ketika dia sudah enggan memahami agama, bersiap-siaplah menikmati keburukan yang Allah timpakan terhadapnya. Akibat dampak fiqih inilah, para ulama menetapkan fiqih sebagai ilmu yang paling spesial. Seiring dinamisasi ilmu-ilmu agama di era kodifikasi pengetahuan, mereka mengartikan hakikat fiqih dengan lebih fokus: “sebuah ilmu perihal hukum-hukum syariat yang praktis (dalam keseharian), digali dari sumber-sumber dalil terperinci dengan cara ijtihad.”

 


Dari definisi di atas, kita bisa mengetahui sebagian dasar sekilas ilmu fiqih. Pertama, objek fiqih adalah status hukum syariat atas setiap aktivitas yang amali, bukan yang ideologis. Hukum niat dalam shalat, misalnya, adalah wajib, merupakan rukun pertama. 



Kedua, kata “yang digali” pada definisi fiqih menunjukkan bahwa pengetahuan atas status hukum ini lahir melalui serangkaian proses penalaran dan kerja intelektual yang panjang, sebelum pada akhirnya dinyatakan sebagai hukum praktis. 



Ketiga, tentu produk fiqih ini tidak hanya hasil dari proses penggalian intelektual (rasionalisasi) semata, tapi proses tersebut harus bersumber dan berdasarkan dalil-dalil terperincinya, baik dari Al-Qur’an, hadits, ijma (kesepakatan para mujtahid), maupun qiyas. Mekanisme baku dalam proses ijtihad penggalian hukum ini dipelajari dalam ilmu ushul fiqih.



Oleh karena itu, seseorang yang mampu menggali status hukum suatu aktivitas langsung dari sumber aslinya tidaklah sembarang orang cerdas, tapi harus bertaraf mujtahid. Bila belum sampai taraf mujtahid, berendah hatilah sebagai pengikutnya. Belajarlah dari warisan ilmu para mujtahid dengan serius dan tekun. Tak perlu kita angkuh dan sok berlagak alim, mengutuk pengikut mujtahid. Sebab, andai saja kita semua diperbolehkan menggali langsung dari sumber primer (Al-Qur’an dan hadits) secara bebas, lalu kita tafsiri sendiri semua kandungannya, seenak kita dan sesuai dengan selera kita, maka sesungguhnya kita tidak sekadar menghasilkan produk fiqih yang gagal dan menyesatkan, tetapi juga telah menciptakan agama baru.



Agama itu sama sekali bukan agama Islam yang dibawa oleh Rasulullah saw. Kita cuma mendompleng nama saja, sementara isi dan ajarannya 100 persen buatan akal kita sendiri.  Na’udzubillah…



Nah, pertanyaannya adalah, apa, sih, hukum mengaji fiqih ini? Sayyid Ahmad Asy-Syathiry membagi tiga hukum. Mengaji fiqih hukumnya fardlu ain dalam materi-materi yang menentukan kesahan atau keabsahan ibadah, muamalah, dan pernikahan. Lebih dari itu hingga taraf berfatwa, hukum mengaji fiqih adalah fardlu kifayah. Lebih dari sekedar taraf berfatwa, maka hukumnya sunnah. 

 


Dari klasifikasi trio hukum ini, bisa kita simpulkan hukum mengaji fiqih ibadah seperti yang tertuang dalam kitab Safinatun Najah adalah fardlu ain. Sebab tanpa mengetahui syarat-rukun ibadah, sebagaimana yang diterangkan Safinah, ibadah kita takkan sah. Melalui Safinah ini, kita akan sangat mudah mempelajari syarat-rukun tersebut. Bahkan, saking mudahnya, kita sampai sering lupa, “Berapa, ya, rukun shalat dan nisab zakat dagangan itu?’’

 

Akhir soal yang perlu kita jawab bersama: “Untungnya ngaji fiqih itu buat apa?” Tentu tidak hanya agar ibadah kita sah saja, ya. Lebih dari itu. Mengaji fiqih akan mengantarkan kita pada ketakwaan. Dengan fiqih, kita akan tahu segala perintah Allah sehingga bisa kita laksanakan dengan khidmat. Begitu pula, fiqih menjauhkan kita dari larangan-Nya. Semakin jeli-teliti kita memahami fiqih, semakin nikmat kita menjalankan titah-Nya dan menghindari larangan-Nya.



Demikian itu atas kesadaran tertinggi bahwa setiap perintah Ilahi pasti memberi kita kebahagiaan lahir-batin abadi, sedang larangan-Nya menyimpan kesengsaraan yang siap melilit kehidupan dunia-akhirat kita.



Sebagaimana telah dikutip pada permulaan, Al-Qur’an membahasakan tujuan ngaji fiqh, yang merupakan bagian integral dari tafaqquh fid din, dengan: “supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.”  Dengan “penjagaan diri” sesuai koridor fiqih inilah, kita tidak hanya untung di dunia, akan tetapi juga bakal berbagahia untuk selamanya di akhirat kelak. Amin


Wallahu a’lam bisshawab

 


H Muhammad Robi Ulfi Zaini Thohir, Ketua PCNU Kabupaten Serang, Pengasuh Ponpes Moderat At-Thohiriyah Pelamunan



Sumber:

Makalah KH MA Sahal Mahfudh, Bahtsul Masa`il dan Istinbath Hukum NU: Sebuah Catatan Pendek; Madzhab Cuma Pendapat Manusia, Buang Saja Cukup Quran dan Sunnah, Ust Ahmad Sarwat, Lc, MA;  Al Yaqutun Nafis dan Syarh-nya, hal 54-55; QS At-Taubah: 122


Opini Terbaru