Opini

Isra’ Mi’raj dan Pesan Kemanusiaan

Senin, 27 Januari 2025 | 08:35 WIB

Isra’ Mi’raj dan Pesan Kemanusiaan

Ilustrasi momentum Isra' Mi'raj. (Foto: Freepik)

DALAM Kitab Al-Anwarul Bahiyyah dan Dzikrayat wa Munasabat karangan ulama besar Sayyid Muhammad bin Alawy al-Maliky al-Hasany, termaktub dialog Nabi Muhammad saw dengan Allah swt pada peristiwa Isra’ Mi’raj. Firman-Nya: “Mintalah sesukamu”. Rupanya, baginda Nabi saw tidak meminta apa pun hingga kemudian Allah swt menjadikannya sebagai kekasih (habibullah) beserta perintah shalat lima waktu. Nabi saw sepenuh hati menerimanya lalu kembali menjejak bumi; berdakwah kepada kaumnya yang kala itu sedang banal-banalnya.



Seumpama kita berada di posisi Nabi saw, mungkin meminta untuk menjadi penduduk langit. Dengan begitu, kita bisa berkumpul dengan para nabi bersama segala rupa anugerah kenikmatan yang melingkupi. Keputusan kembali ke bumi, berarti kembali berhadapan dengan para penentang agama. Bersiap diri menghadapi aneka kepayahan, kesusahan, dan kepedihan. Pun, termasuk menghadapi ancaman fisik dan makian. Benar saja, ketika esoknya baginda Nabi saw menceritakan Isra’ Mi’raj-nya beserta perintah shalat, mayoritas kaumnya mendustakan penuh cerca.



Baginda Nabi saw lebih memilih untuk berkeringat, berdarah-darah, dan berjuang keras berdakwah di tanah Arab yang panas. Aneka kenikmatan yang dijumpanya di semesta langit tak menihilkan rasa sayangnya pada kaumnya. Kita menemukan sisi kemanusiaan yang amat agung pada diri Nabi saw. Pun, bila ditinjau mendalam, ada banyak dimensi kemanusiaan dari perintah shalat.



Keberagamaan-Kemanusiaan

Shalat tidak sekadar termaknai hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhan. Lebih jauh lagi, terdapat pesan sosial yang hakikatnya merupakan konklusi berkait relasi sosial kehidupan sehari-hari. Shalat dan ritus ubudiyah lainnya dapat dikatakan simbol-simbol yang selalu menibakan pesan-pesan kemanusiaan.



Keberagamaan tidak bisa dihadap-hadapkan dengan kemanusiaan. Keduanya bersinergi. Hanya, keberagamaan mencirikan adanya ketundukan pada Sang Maha. Ketundukan/pengakuan akan adanya Sang Maha inilah yang juga membentuk manusia tidak pongah dan jemawa. Hanya Sang Maha-lah yang pantas berpunya sifat itu. Kepasrahan/ketundukan kepada Tuhan dalam laku sujud menujukkan pesan bahwa saban manusia adalah sederajat-setara.



Fragmen takbir merefleksikan pengagungan hanya kepada Sang Pemilik semesta alam. Selain-Nya adalah amat begitu kecil dan tidak punya kuasa apa pun. Totalitas kebergantungan pengharapan sememangnya hanya pantas ditujukan kepada-Nya sebagaimana pemaknaan pada simbolitas sujud. Rampung shalat, mestinya membentuk daya berjiwa merdeka eksploitasi. Sekaligus mengikis mentalitas penjilat dan pedengung.

Bacaan shalat adalah bacaan yang indah. Selama menunaikannya, bibir hanya mengucapkan apa yang telah dititah dengan arti bacaan yang amat baik. Bakda salam, idealnya ucapan baik terus dirapal dalam keseharian. Kalam bijak bestari, shalatlah kamu sekalian selepas salam. Dengan kata lain, ada kontinuitas yang mesti diupayakan agar shalat tidak sekadar penggugur kewajiban. Fenomena percakapan di jagat media sosial dengan sebar hoaks, fitnah, merisak --yang beberapa waktu lalu oleh survei digital Microsoft, kita dianggap masyarakat ‘tak beradab’ --perlu menjadi renungan.



Shalat juga amat dianjurkan ditunaikan berjamaah. Senyatanya shalat tidak bisa dimaknai urusan personal; lebih khidmat dan bernilai sosial tinggi bila dikerjakan bersama tetangga dan rekan kerja. Pada momen berbondong-banyak orang itulah, ada perjumpaan, saling sapa, dan mengerucut pada sedikit-banyak perbincangan. Kran kabar kondisi faktual lingkungan sekitar jadi terbuka sembari melekatkan rajutan persaudaraan.



Pemaknaan substantif shalat dengan orientasi kesalehan sosial, bisa mengikis narasi-narasi yang tidak perlu; yang masih berkutat dalam hal cabang atau furuiyah, semisal soal qunut subuh dan semacamnya. Lantaran hal ini bisa berakibat pada reduksi tujuan shalat itu sendiri sebagai pencegah laku keji dan munkar. Merasa shalatnya paling sesuai dengan Nabi saw. Ironisnya, babakan cabang dominan diuarkan sebagai kebenaran tunggal.



Ayat perihal shalat banyak dirangkai bersama perintah berzakat atau berderma. Tersembul pesan sarih, setelah bermunajat dengan Tuhan, buru-buru mengakrabi  sesama. Sebagaimana ketika shalat, tatapan mata untuk senantiasa melihat tempat sujud sebagai bagian hubungan vertikal lalu dipungkasi salam: menoleh ke kanan dan kiri; simbolitas lingkungan sekitar, para tetangga.



Ibadah vertikal layaknya shalat menyibakkan simpulan, puncak dari saleh ritual adalah saleh sosial. Hilir penghambaan adalah kemanusiaan. Praktik ibadah atau ritus sebagai upaya gemblengan fisik dan mental manusia agar istikamah menebar kemaslahatan di muka bumi. Mengelola bumi dengan segala keberlimpahaan sumber dayanya untuk digunakan secara arif. Segala kerusakannya seperti banjir, tanah longsor, pemanasan global, sebagai kerusakan semata imbal balik ulah serakah manusia itu sendiri.



Tiang agama atau keberagamaan bisa roboh tidak saja karena alpa mengerjakan shalat, tetapi dikarenakan pula tidak sampainya mushalli menjalankan pesan kemanusiaan di dalam salatnya. Tak heran, ramainya kesalehan ritual berbanding lurus dengan kebanalan sosial.



Ash-shalatu mi’rajul mu’minin, salat adalah “mi’raj-nya” orang beriman. Setelah bak “bercakap-cakap” dengan Allah swt, lantas berganti bercakap-cakap dengan lingkungan sekitar. Seperti halnya hikayat Nabi saw di atas; rampung shalat, manusia kembali dihadapkan pada kompleksitas kehidupan. Pesan sosial shalat, memanggil manusia turun dari menara; mengajak keluar masjid setelah beribadah secukupnya; lalu bergumul melakukan kerja-kerja konstruktif guna menyelesaikan problem sosial keseharian.  Wallahu a’lam

 


Muhammad Itsbatun Najih, Alumnus Ibtidaul Falah, Kudus, Jateng