Persaudaraan Antarumat Beragama dalam Perspektif Kemanusiaan
Rabu, 13 November 2024 | 10:48 WIB
Kiai Hadi Susiono Panduk
Kolomnis
KEBERAGAMAN adalah sunnatullah. Ketetapan dan ketentuan Allah swt. Begitu juga dengan keberagaman di Indonesia yang terdiri atas berbagai suku, agama, ras, dan antargolongan. Indonesia bukan Islam, meskipun agama terpopuler tersebut, dipeluk oleh 85, 2 persen dari jumlah penduduk, sehingga Indonesia sering dilabeli negara dengan Muslim terbesar di dunia, yakni 230 juta pemeluk. Indonesia bukan juga Protestan, Katolik, Budha, Konghucu atau yang lainnya. Tetapi, keseluruhan agama itulah Indonesia.
Hindari Fanatisme Buta
Kehidupan beragama yang menekankan pada sikap saling hormat-menghormati dan bekerja sama sosial atas dasar kemanusiaan antarumat beragama mutlak dilakukan. Bagi sebagian kalangan, mungkin belum terbiasa dan cenderung risih, bila ada seorang Muslim membantu saudara sebangsanya yang beragama Katolik. Begitu juga, jika saudara kita yang beragama Buddha membantu meminjamkan mobil ambulans, misalnya, kepada saudara Muslim, ketika membutuhkan bantuan.
Hal terpenting adalah batasan dalam menjalankan ibadah antarumat beragama ini sudah jelas. Bagiku agamaku, bagimu agamamu. Tidak boleh mencampuradukkan ajaran agama satu dengan ajaran agama yang berbeda lainnya, dengan alasan toleransi, atau tidak mau bekerja sama kemanusiaan antar umat beragama dengan alasan fanatisme buta.
Indonesia dengan masyarakat majemuk, harus mulai menyadari pentingnya persaudaraan antaragama atas dasar kemanusiaan. Umat Islam sebagai umat mayoritas di Indonesia harus melindungi, memproteksi dan menjadi suri tauladan perilaku harmoni kebangsaan bagi umat-umat agama yang lainnya. Umat Islam harus menjadi role model rahmatan lil-indonesiyyin (rahmat bagi bangsa Indonesia). Tidak larut dalam perbedaan.
Ini sangat penting karena, kita tidak bisa menutup mata, dalam ajaran agama Islam bahwa Allah swt menciptakan manusia memang berbeda. Perbedaan ini bisa kita lihat pada warna kulit serta bentuk fisik. Cara mereka berbicara pun dengan menggunakan bahasa berbeda. Perbedaan tersebut adalah ketentuan dan ketetapan dari Allah swt, padahal jika berkehendak Dia dengan mudah menjadikan manusia seragam beriman kepada-Nya (QS Yunus:99). Namun, Allah swt tidak berkehendak dan tidak berminat atas itu semua.
Allah berfirman dalam Surat Al-Hujurat ayat 13, ‘’Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Mahateliti.”
Dalam ayat ini, dijelaskan bahwa Allah menciptakan manusia dari seorang laki-laki (Adam) dan seorang perempuan (Hawa) dan menjadikannya, berbangsa-bangsa dan bersuku-suku dan berbeda-beda warna kulit bukan untuk saling mencemoohkan, tetapi supaya saling mengenal dan menolong. Allah tidak menyukai orang-orang yang memperlihatkan kesombongan dengan keturunan, kepangkatan, atau kekayaan karena yang paling mulia di antara manusia di sisi Allah hanyalah orang yang paling bertakwa kepada-Nya.
Kebiasaan manusia memandang kemuliaan itu selalu ada sangkut-pautnya dengan kebangsaan dan kekayaan. Padahal menurut pandangan Allah, orang yang paling mulia itu adalah orang yang paling takwa kepada-Nya.
Realitas yang mengemuka dalam kehidupan sosial, ketika kita bertemu dan mengenal manusia lain sering kali terucap, “Siapa dia? Jabatannya apa? Bisnisnya? Dia anggota club ini, itu? Dan sejenisnya. Pertanyaan-pertayaan tersebut lumrah. Tetapi yang salah kaprah adalah menjadikan pertanyaan-pertanyaan tersebut sebagai tolok ukur, benchmark dalam mengenal manusia.
Jika dia tidak berharta, maka aku tidak mau berteman, jika dia tidak menjabat saat ini, maka buat apa aku bergaul dengannya, jika dia tidak dari golonganku dan setara dalam harta dan properti, maka buat apa aku dekat dengannya, dan berbagai pertimbangan lain yang intinya, adalah pilih-pilih dalam berteman dan bergaul yang pada akhirnya akan menimbulkan sifat kecongkakan pada diri kita.
Tebarkan Kasih Sayang
Islam adalah agama kasih sayang dan setiap makhluk ciptaan Allah telah dianugerahi piranti bawaan yakni sifat kasih sayang. Ini bukan tanpa alasan, karena Allah sendiri adalah Dzat Yang Maha Kasih Sayang. Kasih sayang Allah misalnya diberikan kepada seekor burung yang ketika pagi terbang tinggi dengan kondisi lapar lalu pulang di waktu sore dalam keadaan kenyang, seekor ulat buta yang terjebak dalam lobang bebatuan besar di dasar laut, ataupun janin yang berada di dalam perut ibunya.
Sejurus dengan sifat kasih sayang inilah, bertebaran sabda Nabi Muhammad yang berhasil diabadikan oleh para perawi utama dalam kitab-kitab hadits. “Barang siapa yang tidak menyayangi, maka dia tidak akan disayangi.” (Sahih Bukhari, hadits: 6013).
Dalam hadits lain, diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi, terdapat redaksi, “Orang-orang yang memiliki sifat kasih sayang, akan disayangi oleh Allah Yang Maha Penyayang. Sayangilah semua yang ada di bumi, maka semua yang di langit akan menyayangimu. Kasih sayang itu bagian dari rahmat Allah, barang siapa menyayangi, maka Allah akan menyayanginya. Barang siapa yang memutuskannya, maka Allah akan memutuskannya.” (Sunan at-Thirmidzi, hadits: 1924).
Kedua hadits tersebut sangat eksplisit dalam memandu umat Islam bagaimana seharusnya berkasih sayang kepada sesama manusia. Menebarkan kasih sayang adalah karakter sejati umat Islam karena agama Islam sesungguhnya dipolakan sebagai pembawa perdamaian dan kasih sayang kepada semua makhluk. Praktik kasih sayang bagi seorang Muslim—misalnya dengan mudah memberikan senyuman, menebar salam, dan roman bersahabat, bukan dengan muka penuh kebencian dan sakwa sangka—akan mengikis stigma yang melekat pada sebagian umat Islam yang terjebak pada praktik berislam yang saklek dan tidak lentur, sehingga menimbulkan semacam phobia terhadap ajaran Islam itu sendiri.
Dalam tataran Indonesia bahkan global, perbedaan bangsa, suku dan agama tidak lantas kita anggap sebagai barrier (penghalang) dalam berinteraksi sosial. Lebih lanjut, dalam perspektif keindonesiaan dengan keberagaman agama yang diakui di dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, jika kasih sayang dan cinta kasih diejawantahkan dengan menerapkan sikap saling mengasihi dan menyayangi antarsuku, ras, agama dan antargolongan, maka kohesivitas antaranak bangsa akan menjadi modal dasar untuk mencapai tujuan berbangsa. Perbedaan agama haruslah disikapi dengan semangat ukhuwah wathaniyah (persaudaraan anak bangsa) sehingga kemasan yang tampak adalah keguyuban dalam berbangsa, bukan kesan friksi yang mengemuka.
Wallahu ‘Alamu Bishawab
Kiai Hadi Susiono Panduk, Alumnus Pondok Pesantren Sabilillah, al-Khoirot, dan MA Nahdlatul Muslimin Kudus serta Universitas Diponegoro Semarang. Wakil Rais Syuriyah PCNU Lebak, Pengurus MUI dan Pergunu Lebak, Dewan Pakar ICMI Orwil Banten, dan Majelis Pakar P2i Provinsi Banten
Terpopuler
1
Dahsyatnya Kebakaran di LA, Amerika
2
Konferensi II MWCNU Ciledug tetapkan Syarif Hidayat Rais Syuriyah, Khoiru Supyan Ketua Tanfidziyah
3
97 WNI Terdampak Kebakaran di LA, Amerika
4
Delapan PWNU Usul Sejumlah Masalah Keagamaan Dibahas di Munas NU 2025
5
LP Ma’arif PBNU Dorong Para Pendidik Hidupkan Quote Tokoh NU
6
Pagar Nusa Tangsel: Semangat Berlatih, Jangan Terputus
Terkini
Lihat Semua