• logo nu online
Home Nasional Banten Raya Warta Keislaman Tokoh Khutbah Sejarah Opini Pesantren NU Preneur Ramadhan 2023
Sabtu, 27 April 2024

Opini

Suluk Ramadhan dan Empati Komunal

Suluk Ramadhan dan Empati Komunal
Ilustrasi Ramadhan. (Foto: Freepik)
Ilustrasi Ramadhan. (Foto: Freepik)

SIKLUS tahunan Ramadhan telah datang. Natijah Ramadhan dari tahun ke tahun harus mengindikasikan baik tren kesalehan personal maupun kesalehan komunal yang bersifat bullish bukan bearish. Pancaran dari keduanya dapat terlihat dalam rutinitas keseharian, daily basis kita. Ramadhan lahir sebagai bulan kawah candradimuka di mana seorang pengiman ditempa bagaikan besi superpanas yang hendak dibuat perkakas, bejana atau sebuah pusaka. Predikat maraton akhir Ramadhan adalah melekatnya takwa. Sebuah sematan bergengsi bagi seorang pengiman sejati.



Hal ini sejurus dengan Firman Allah dalam QS Al-Baqarah, ayat 183, “Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.” Ketakwaan seorang hamba semestinya selalu built in, di mana dan kapan saja. Takwa sejatinya menjalankan perintah-perintah Allah swt dan meninggalkan apa yang dilarang oleh-Nya. Terkesan sederhana, namun jika di-break down, ia adalah laku spiritual penuh heroik seorang mukmin. Allah memerintahkan orang Mukmin agar bertakwa dengan sejatinya dan bersama dengan orang-orang yang benar demi sebuah predikat paling mulia (QS Al-Hujurat:13). Firman Allah tersebut menggambarkan, bahwa orang Mukmin lebih dekat dengan ketakwaan kepada Allah.



Glorifikasi datangnya bulan penuh rahmat dan ampunan oleh seorang Mukmin harus disikapi sebagai penghormatan dan penghidmatan dalam menjalankan segala rangkaian ibadah sebagai laku suluk penghambaan kepada Allah swt. Antusiasme dalam menjalankan puasa Ramadhan dan ibadah-ibadah lainnya, harus dikukuhkan dalam hati sanubari. Pawai syiar tahrib Ramadhan adalah bentuk ritual suka cita dalam menyambut datangnya bulan suci Ramadhan. Pendek kata, glorifikasi Ramadhan dilakukan agar seseorang mencapai derajat manusia yang bertakwa. Manusia yang bertakwa akan menjadi manusia yang paling mulia di sisi Allah swt.



Manusia paling mulia versi Allah swt sangat jelas disebutkan dalam Al-Qur’an, adalah orang yang beriman kepada Allah, hari akhir, malaikat-malaikat, kitab-kitab, dan nabi-nabi, serta memberikan harta yang dicintainya kepada kerabat, anak yatim, orang-orang miskin, orang-orang yang dalam perjalanan (musafir), peminta-minta, dan untuk memerdekakan hamba sahaya, yang melaksanakan shalat dan menunaikan zakat, orang-orang yang menepati janji apabila berjanji, dan orang yang sabar dalam kemelaratan, penderitaan, dan masa peperangan (QS Al-Baqarah:177).



Sujurus kandungan surat tersebut, Surat Al-Anbiya 48-49, menceritakan orang-orang yang beriman yakni mereka yang takut akan azab Tuhan-Nya, dan takut akan (datangnya) hari kiamat. Penanda lain dari seorang yang bertakwa, adalah mereka yang membawa kebenaran (Muhammad) dan orang-orang yang membenarkannya, seperti dikutip Surat Az-Zumar ayat 33.



Kandungan Surat Al-Lail 17-20, identik dengan Surat Al-Baqarah tersebut, yakni orang yang menginfakkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkan (dirinya), dan tidak ada seorang pun memberikan suatu nikmat padanya yang harus dibalasnya, tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari keridhaan Tuhannya.

 

Empati Komunal

Salah satu manifestasi ciri pengiman sejati yang melekat pada dirinya predikat ketakwaan kepada Allah swt adalah, dia melakukan laku suluk empati komunal. Empati menjadi barang langka dewasa ini di saat banyak dari kita mulai mementingkan diri sendiri dan bermental hedo-materialistik. Kemampuan untuk memahami perasaan, pengalaman orang lain dengan membayangkan seperti apa situasi mereka, lazim dinamakan empati. “the ability to understand another person’s feeling, experience, by imagining what is would be like to be in their situation (Oxford Advanced Learner’s Dictionary, 2008).



Kehadiran Ramadhan sungguh menjadi rem bagi seorang mukmin dalam menjalani ritus kehidupan sehari-hari. Kehidupan yang penuh dengan intrik dan manuver yang tak jarang melampaui batas kemanusiaan. Empati komunal harus dikampanyekan sebagai bentuk kepedulian antar sesama mukmin karena sejatinya mereka laksana sebuah bangunan, sebagian menguatkan sebagian yang lainnya (Sahih Bukhari, DKI Jilid 1, hadits: 481).



Hadits yang sitir oleh Abu Hurairah RA lebih merupakan tamparan bagi siapa saja yang mengaku beriman. Tidaklah seseorang disebut pengiman sejati sedangkan dirinya kenyang di antara saudara Mukmin yang kelaparan. Tidaklah seorang pemimpin disebut beriman jika ia duduk di atas mewahnya singgasana dan berjalan di atas tebalnya karpet permadani, di saat banyak rakyatnya makan nasi aking dan berpotensi mengalami mulnutrisi. Tidaklah disebut pemimpin yang beriman sejati, jika gagal dalam menstabilkan harga bahan kebutuhan pokok, memasok dan menjaga ketersediaan barang dan jasa atas masyarakatnya, sehingga timbul keresahan, kepanikan, dan situasi disorder bahkan chaos, hanya karena masyarakat berebut operasi pasar murah yang diadakan pihak tertentu. Ironis!



Potret masyhur sikap empati dalam sejarah telah diuswahkan oleh Nabi Muhammad, seperti kita dapatkan kisahnya ketika berselancar di dalam Sahih Bukhari, hadis bernomor 6452, Abu Hurairah pernah mengatakan, “Demi Allah yang tidak ada Tuhan selain Dia, aku pernah menempelkan lambungku di atas tanah karena rasa lapar. Aku juga pernah mengikatkan beberapa batu di perutku karena rasa lapar. Pada suatu hari aku pernah duduk di jalan yang biasa para sahabat lewati. Kemudian lewatlah Abu Bakar, lalu aku bertanya tentang ayat dari Kitabullah, dan aku tidaklah menanyakannya selain agar Abu Bakar menjamuku, namun ia tidak melakukannya. Setelah itu lewatlah Umar bin Khatab, kemudian aku bertanya kepadanya tentang ayat dari Kitabullah dan aku tidaklah menanyakannya selain agar Umar menjamuku, namun ia tidak melakukannya. Setelah itu lewatlah Abul Qasim (Nabi Muhammad). Ketika melihatku, beliau tersenyum dan mengetahui apa yang tergambar di wajah dan hatiku. Beliau lalu bersabda, “Wahai Abu Hurairah,”. Aku menjawab, “Aku penuhi panggilanmu, wahai Rasulullah.” Beliau bersabda, “Ikutlah”. Lalu aku mengikuti beliau, kemudian aku meminta izin untuk masuk dan beliau mengizinkanku. Ternyata aku mendapatkan susu di dalam mangkuk.”


Berempati terhadap sesama adalah bukti konkret dari penjelmaan keimanaan seorang Mukmin terlebih pada momentum bulan suci Ramadhan di saat semua riyadhah, baik yang bersifat ragawi seperti menahan lapar dan dahaga, atau pun bersifat rohani seperti berdusta, berghibah, mengadu domba, bersumpah palsu, dan memandang dengan syahwat, mutlak mendapatkan perhatian sangat serius dari seorang Mukmin, jika tidak menginginkan puasa yang dijalaninya hanya berbuah lapar dan dahaga, jauh dari pencapaian sempurna yakni mendapatkan predikat manusia mulia dengan ketakwaan yang melekat pada dirinya.



Jika empati komunal terus diimplementasikan dalam kehidupan bermasyarakat dengan melakukan berbagai program terobosan semisal pengentasan kemiskinan, penyediaan lapangan pekerjaan, dan berbagai program misi sosial dan kemanusiaan lainnya, sebagai buah tangan (oleh-oleh) dari proses drilling Ramadhan, bukan tidak mungkin Ramadhan akan menghantarkan kita pada sebuah pintu surga khusus, the private entrance door, pintu Rayyan, di mana kita adalah salah satu pemegang card reader atas barcode pintu surga tersebut.



Akhirnya panduan menjadi muttaqin (hamba yang bertakwa) telah diberikan oleh Allah jalla jalaluhu dengan menjalankan berbagai laku suluk Ramahdan baik yang bersifat kesalehan personal maupun kesalehan komunal. Semoga kita menjadi manusia paling bertakwa kepada Allah melalui glorifikasi titik nol Ramadhan. Insyaallah!

Wallahu A’lamu Bisshawab

 


Hadi Susiono Panduk; Kolumnis Muslim asal Kudus, Jateng, Rais Syuriyah MWCNU Bayah, Lebak; Pengurus MUI Kabupaten Lebak; dan Anggota Dewan Pakar Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Orwil Banten


Opini Terbaru