• logo nu online
Home Nasional Banten Raya Warta Keislaman Tokoh Khutbah Sejarah Opini Pesantren NU Preneur Ramadhan 2023
Kamis, 16 Mei 2024

Ramadhan

Mengendalikan Hawa Nafsu

Mengendalikan Hawa Nafsu
Ilustrasi. (Foto: NU Online)
Ilustrasi. (Foto: NU Online)

Manusia diciptakan Allah dengan segala sifat, ciri, dan ‎karakteristiknya. Salah satu ciri manusia adalah diberikan hawa ‎nafsu. Secara bahasa dapat dipahami bahwa hawa bermakna ‎keinginan sedangkan nafsu berarti jiwa. Disimpulkan bahwa ‎hawa nafsu adalah keinginan jiwa untuk melakukan sesuatu ‎sehingga menjadi dorongan (impuls) baik maupun buruk.‎

‎ 
Nafsu sendiri dalam psikologi memiliki dua daya utama yakni al-‎ghadhab, daya yang berpotensi untuk menghindarkan diri dari ‎segala yang membahayakan. Sifatnya secara natur seperti hewan ‎buas yang menyerang, merusak, membunuh, menyakiti, dan ‎lain-lain. Daya selanjutnya as-syahwat, daya yang berpotensi ‎untuk menginduksi dari segala sesuatu yang menyenangkan, ‎sifatnya seperti hewan jinak yang erotisme, memiliki naluri seks ‎bebas, narsisme, dan hal-hal yang dilakukan untuk memuaskan ‎birahi. Secara garis besar, prinsip kerja hawa nafsu mengikuti ‎prinsip kenikmatan (pleasure principle).‎

‎ 
Saat menjalani kehidupan, hawa nafsu manusia lantas menjadi ‎dorongan utama untuk menjalankan hal-hal yang baik (takwa) ‎maupun hal-hal yang buruk (fujur). Allah berfirman:‎
‎ 

وَنَفْسٍ وَّمَا سَوّٰىهَاۖ فَاَلْهَمَهَا فُجُوْرَهَا وَتَقْوٰىهَاۖ

‎ 
‎’’Dan demi jiwa serta penyempurnaan (ciptaan)-nya, (7) Lalu ‎Dia mengilhamkan kepadanya (jalan) kejahatan dan ‎ketakwaannya’’ (8) (asy-Syams/91: 7-8)‎

‎ 
Manusia yang mampu menempuh jalan baik sebagaimana ayat di ‎atas adalah manusia yang mampu mengendalikan hawa nafsunya ‎dan membenarkan nafsunya hanya kepada Allah. Nafsu ‎kebenaran ini disebut nafs muthma’innah atau nafsu yang ‎tenang. Dalam Al-Qur’an dijelaskan bahwa nafsu ini yang akan ‎kembali kepada Allah dan diridhai-Nya, “Wahai jiwa yang ‎tenang, kembalilah kepada Tuhanmu dengan rida dan diridai.” ‎‎(Al-Fajr/89: 27-28)‎

‎ 
Sebaliknya jalan keburukan dapat ditempuh dengan menuruti ‎nafsu yang buruk atau nafsu ammarah. Nafsu ini merupakan ‎sumber dari segala kejahatan, kebatilan dan kesesatan. Adapun ‎nafsu lain yang sering membawa kepada keburukan adalah nafsu ‎lawwamah, nafsu ini menurut Qatadah adalah nafsu yang buruk ‎karena berasal dari kata talawwum yang berarti tidak konsisten ‎atau laum yang artinya celaan.‎

‎ 
Sejak dilahirkan ketiga sifat nafsu tersebut selalu berebut menjadi ‎dorongan utama manusia dalam bertindak. Ketiganya berusaha ‎saling memengaruhi manusia agar mau mengerjakan keburukan ‎atau kebaikan. Bagi mereka yang dapat mengendalikan nafsunya ‎dan memenangkan nafsu muthma’innah,  maka akan menang ‎dalam kehidupan dunia, sementara mereka yang tidak dapat ‎mengendalikan nafsunya serta memenangkan nafsu ammarah ‎dan lawwamah akan terjatuh dalam kejahatan dan keburukan.‎

‎ 
Saat ini umat Islam sedang menjalankan ibadah puasa ‎Ramadhan, merupakan ajang yang tepat dan momentum untuk ‎mengendalikan hawa nafsu. Dengan puasa setidaknya manusia ‎sanggup mengekang nafsunya sebagaimana hadits Nabi yang ‎berbunyi:‎
‎ 

عَنْ عَبْدِ اَللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ رضي الله عنه قَالَ لَنَا رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم: يَا مَعْشَرَ ‏اَلشَّبَابِ! مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ اَلْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ, فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ, وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ, وَمَنْ لَمْ ‏يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ ; فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ‎ "‎

‎ 
‎“Abdullah Ibnu Mas'ud ra. berkata: ‘Rasulullah saw bersabda ‎pada kami: "Wahai generasi muda, barangsiapa di antara kamu ‎telah mampu berkeluarga hendaknya ia kawin, karena ia dapat ‎menundukkan pandangan dan memelihara kemaluan. ‎Barangsiapa belum mampu hendaknya berpuasa, sebab ia ‎dapat mengendalikanmu." (Muttafaq 'Alaih)‎

‎ 
Berdasarkan hadits tersebut, berpuasa adalah cara umat muslim ‎mengendalikan hawa nafsunya. Sebab syahwat biologis manusia ‎dapat dikendalikan salah satunya dengan berpuasa.‎

‎ 
Imam Ghazali lebih lanjut menjelaskan dalam Ihya ‘Ulumuddin ‎‎(juz 3, hal 85) bahwa salah satu manfaat menahan lapar adalah ‎manfaat mengendalikan nafsu sehingga tidak melakukan ‎kemaksiatan dan terbebas dari nafsu buruk. Sebab, makanan ‎adalah ‘bahan bakar’ bagi hawa nafsu, saat berpuasa setidaknya ‎salah satu pintu hawa nafsu telah tertutup dan dikendalikan ‎sampai berbuka. Saat seorang muslim mampu mengendalikan ‎nafsunya, maka dirinya sanggup untuk menggunakan waktu dan ‎tenaganya hanya untuk melakukan kebaikan.‎

‎ 
Hebatnya lagi jika kita sanggup berpuasa satu bulan lebih, maka ‎sudah terbentuk ‘habit positif’ dalam diri manusia. Habit untuk ‎mengendalikan hawa nafsu dan mengedepankan kebenaran ‎Allah dapat dibentuk selama bulan Ramadhan. Dalam European ‎Journal of Social Psychology pada tahun 2009 dijelaskan bahwa ‎kebiasaan dapat dibentuk dengan membangun kebiasaan antara ‎‎18 hari hingga 254 hari. Senada dengan itu, Liza M Djaprie, ‎seorang psikolog klinis menjelaskan bahwa kebiasaan dapat ‎terbentuk dalam 30 hari, otak akan mulai menyesuaikan ‘habit’ ‎baru yang dilakukan terus menerus.‎

‎ 
Rendy Iskandar Chaniago, Wakil Bendahara Lembaga Dakwah ‎NU Tangerang Selatan

Editor: M. Izzul Mutho


Editor:

Ramadhan Terbaru