• logo nu online
Home Nasional Banten Raya Warta Keislaman Tokoh Khutbah Sejarah Opini Pesantren NU Preneur Ramadhan 2023
Sabtu, 27 April 2024

Opini

Homo Homini Lupus (Upaya Memahami Kriminalitas)

Homo Homini Lupus (Upaya Memahami Kriminalitas)
Ilustrasi. (Foto: Freepik)
Ilustrasi. (Foto: Freepik)

HAMPIR setiap hari di media sosial dan media masa, baik di dalam maupun di luar negeri selalu dijumpai informasi atau tulisan soal kriminalitas. Di Indonesia tindak kriminal menurut BPS (Badan Pusat Statistik) dalam statistik kriminal 2023 menunjukan jumlah kejadian kejahatan sebanyak 372.965 pada 2022.



Dalam KBBI (Kamus besar Bahasa Indonesia) kriminalitas artinya kejahatan atau tindakan yang melanggar hukum pidana. Pelaku tindak kriminal ini mulai berusia muda hingga orang tua, laki-laki dan perempuan, serta terjadi ada pada hampir dari semua status sosial. Begitu juga dengan korban kriminalitas terjadi pada siapa pun dan dari golongan mana pun. Alasan yang menjadi faktor penyebab kriminalitas sangat beragam. Mulai persoalan asmara, ekonomi, politik hingga harga diri.



Baru-baru ini di antara kriminalitas yang sedang ramai diberitakan media masa Indonesia adalah dugaan pembunuhan anak dari seorang artis oleh kekasihnya. Juga dugaan kekerasaan santri senior kepada juniornya hingga menyebabkan meninggal dan banyak peristiwa-peristiwa lainnya. Mungkin dari peristiwa-peistiwa itu kita bertanya, mengapa kriminalitas sangat sering terjadi? Sedangkan bangsa kita adalah bangsa yang beragama dan mayoritas beragama Islam.



Mengapa ini selalu terjadi? Padahal di dalam Al-Qur’an, Allah swt telah melarang manusia dari berbuat kejahatan. Dalam Surat Al-Hud Ayat 18 yang artinya “Ketahuilah, laknat Allah (ditimpakan) kepada orang yang dzalim”. Kata “Laknat” dalam ayat ini mengindikasikan bentuk larangan kepada orang yang melakukan dzalim (kejahatan).



Tetapi, terlepas dari itu kita melihat bahwa ternyata manusia pada akhirnya adalah serigala bagi manusia yang lainnya (homo homini lupus). Sepertinya di sini kita boleh berasumsi, bahwa selama manusia ada, selama itu juga kriminalitas terjadi. Dengan demikian kita dapat melihat hubungan yang erat antara manusia dan kriminalitas. Pertanyaan yang harus dimunculkan adalah, mengapa manusia itu jahat? Apakah kejahatan berkaitan dengan kodrat asal manusia?



Untuk menjawab pertanyaan ini mari kita kembali pada sumber. Dalam Al-Qur’an Surat Al-Ahzab Ayat 72 yang berbunyi “Sesungguhnya Kami telah mengemukakan amanat kepada langit, bumi dan gunung-gunung, maka semuanya enggan memikul amanat itu dan mereka khawatir akan mengkhianati, dan dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya ia (manusia) itu amat dzalim dan amat bodoh”.



J. Jacques Rousseau 1712-1778 (filsuf romantisme), berpendapat bahwa keadaan asal manusia adalah baik, adapun yang membuatnya buruk adalah pengaruh dari kehidupan sosial. Dari pergumulan tersebut itulah yang membuat manusia menjadi tidak baik. Tetapi Thomas Hobbes 1588-1679 (filsuf empirisme) berkata sebaliknya kodrat asal manusia adalah jahat. Hobbes  menyebutnya homo homini lupus (manusia adalah serigala bagi manusia lainnya). Manusia dikatakan Hobbes adalah makhluk yang antisosial, ingin selalu menguasai makhluk yang lainnya, cenderung ingin memenuhi kepentingan dirinya sendiri. Dengan demikian akan terjadi suatu perebutan kepentingan ketika ada dalam kehidupan sosial. Karena sifatnya yang seperti itu, maka yang terjadi adalah bellum omnes contra omnima (perang semua melawan semua) dan dalam peperangan itu manusia menjadi serigala bagi manusia lainnya (homo homini lupus).

 



Meski begitu, kriminalitas harus dimusnahkan. Bukan karena jahat adalah kodrat asal manusia yang kemudian membuat kita mewajarkan tindakan tersebut. Kriminalitas sangat merugikan, mengganggu keamanan, menghambat kemajuan, menghambat pertumbuhan ekonomi, mengganggu stabilitas negara dan lain sebagainya. Untuk itu, harus ada yang memonopli kejahatan untuk mengatasi hal ini.



Hobbes mengupayakan “leviathan” kekuatan besar untuk mengendalikan kejahatan (negara absolute), negara yang tidak memiliki undang-undang dan kekuasaan sepenuhnya berada di tangan penguasa (raja) dengan catatan bahwa keputusan-keputusan penguasa harus dibuat se-efektif mungkin. Tetapi di Indonesia, absolutisme sangat tidak mungkin dilakukan, karena Indonesia menganut sistem demokrasi. Lagi pula di negara kita, hukum tentang kejahatan telah diatur dan ditetapkan kentuan-ketentunya bagi para pelaku dan korban tindak kriminal, akan tetapi tetap saja kriminalitas itu banyak terjadi. Jalan lain yang sangat mungkin dilakukan untuk setidaknya mengurangi kriminalitas adalah agama.



Faktor yang sangat fundamental pelaku kejahatan adalah kurangnya ilmu agama, atau kemungkinan yang lain adalah kesalahan memahami hukum agama dan menyebabkan lemahnya iman di dalam diri mereka. Sehingga negara dengan hukumnya tidak membuat takut para pelaku kejahatan. Dengan begitu, untuk mengendalikan kejahatan agama harus menggunakan cara yang berbeda dari bidang yang lainnya.



Islam adalah agama cinta, di sini para pemuka agama, khususnya Islam, diharapkan “bekerja” lebih ekstra lagi dalam hal menebarkan sifat kasih sayang dan menyentuh semua kalangan masyarkat. Sikap-sikap yang telah diajarkan Nabi Muhammad saw, ketika berhadapan dengan segala situasi dan kesulitan, harus benar-benar menjadi pedoman dan tolok ukur di dalam diri setiap Muslim.



Sehingga kriminalitas dipahami bukan dengan alasan karena melakukan perbuatan tersebut akan berakibat begini atau begitu, tetapi kriminalitas memang bukan sesuatu yang harus dilakukan oleh manusia. Jika ajaran-ajaran Islam dipahami dengan benar dan dilakukan oleh Muslim dan warga negara Indonesia, homo homini lupus hanya akan menjadi konsep asing yang tidak merujuk pada situasi saat ini.

 


Wawan Sutaji, Anggota GP Ansor PAC Patia, Pandeglang; Lulusan Aqidah dan Filsafat Islam UIN Sunan Gunung Djati Bandung.

X : @wansoetadji

FB: Wan Sutaji


Opini Terbaru