• logo nu online
Home Nasional Banten Raya Warta Keislaman Tokoh Khutbah Sejarah Opini Pesantren NU Preneur Ramadhan 2023
Kamis, 16 Mei 2024

Opini

Ramadhan, Bulan Antiekstremisme

Ramadhan, Bulan Antiekstremisme
Ramadhan. (Foto: NU Online)
Ramadhan. (Foto: NU Online)

Saban kedatangan Bulan Suci Ramadhan, hendaknya perlu disyukuri sekaligus ‎kontemplasi. Lebih-lebih, hingga hari ini, kita belum terbebas ujaran kebencian, ‎hoaks, dan dakwah provokatif-intoleran. Nuansa damai hidup bersama seperti ‎barang mahal. ‎

‎ 
Pun, aneka praktik banalitas berkedok agama telah menyayat ketentraman. ‎Tujuannya tak lain tak bukan untuk mengusik dan memporak-porandakan ‎masyarakat yang multikultur; agar saling menaruh rasa curiga. Dalam kondisi ‎seperti ini, akal sehat dan kewarasan tetap wajib dikedepankan. Penonjolan ‎emosi bisa-bisa menyebabkan kondisi bertambah runyam. Kutukan terhadap laku ‎biadab macam teror memang mesti kita gaungkan. Kita pun mesti ‎memproklamirkan sikap untuk melawan praktik intoleran.‎

‎ 
Karena tujuan intoleransi untuk menyebar agitasi-ketakutan dan permusuhan di ‎antara sesama, justru berangkat dari sini, kita pun seyogianya berpikir kritis ‎bahwa, kita tidak boleh terprovokasi. Meyakini bahwa agama tidak sama sekali ‎mengajarkan laku intoleran dan teror. Saban diri kita sebagai umat beragama ‎perlu sejenak berkontemplasi untuk kemudian bisa memunculkan gugatan ‎reflektif bahwa, kalau agama memang mengajarkan intoleransi apalagi terorisme, ‎tentulah dunia ini beserta umat manusia sudah hancur-punah sejak dahulu. Kita ‎pun harus meyakini bahwa para teroris hanya berpikir absurd dan paradoks. ‎Mereka, para teroris, kerap mengatasnamakan agama. Padahal, yang ‎diatasnamakan alias agama itu sendiri nyata-nyata tidak membenarkan. ‎

‎ 
Kita mengapresiasi kerja aparat hukum yang belakangan sigap dalam upaya ‎pemberantasan terorisme. Kita mafhum perihal akibat perbuatan para teroris ‎dengan melakukan tindak destruktif, terbukti mengakibatkan ‎cacatnya/lenyapnya orang-orang yang tidak berdosa/tidak mempunyai ‎kepentingan apa pun. Nyata-nyata, korban intoleransi dan terorisme bisa ‎menimpa siapa saja. Baik anak kecil hingga yang tua renta. Baik pengusaha besar ‎hingga pedagang asongan, semua merasakan efek dahsyat tindakan teror. Dan, ‎imbas terorisme juga tidak mengenal pemeluk agama tertentu. Semua lapisan ‎masyarakat beserta identitas primordial dan atribut keagamaan, semuanya ‎merasakan keganasan terorisme. Jadi, ketika ada pemboman, kita memang harus ‎mengatakan bahwa aksi teror tidak ada kaitan/identik dengan agama apa pun ‎sebagaimana pernyataan Presiden Joko Widodo saat menanggapi teror bom di ‎Makassar, awal April 2021 lalu. ‎

‎ 
Praktik intoleransi dan bibit terorisme bermula dari paham ekstremisme ‎beragama. Karena itu, terutama di media sosial, kesadaran reflektif masyarakat ‎perlu mesti disinkronkan dengan gerak lincah jemari. Jangan sampai cuitan ‎maupun unggahan di Twitter dan Facebook mengarah pada desakralisasi nama ‎suci agama. Melainkan, sikap untuk menibakan intisari ajaran agama dalam hal ‎ajaran welas asih dan saling toleransi untuk disorongkan semaksimal mungkin; ‎sebagai ruang membangun kesolidan solidaritas. Khazanah agama yang dipeluk ‎masyarakat Indonesia mestinya menjadi tameng dan perisai dari segala tindakan ‎teror dan adu domba.   ‎

‎ 
Namun, memang kita tidak bisa menyangkal bahwa, ada sebagian kecil pihak ‎dengan cara beragama mengarah radikalisme-ekstremisme. Kita mafhum, ‎ekstremisme seperti duri dalam daging. Tidak saja mengusik intisari kerukunan ‎internal pemeluk suatu agama, tetapi juga lantang menafikan eksistensi agama ‎lain. Sehingga, ujung atas paham ekstremisme adalah hanya dirinya saja yang ‎benar. Padahal, prinsip agama merupakan jalan tengah (wasathiyyah) sekaligus ‎sebagai metode pencerahan manusia merajut harmoni dalam mengelola bumi ini. ‎

‎ 
Memasuki Ramadan, syahru al-shiyam, merupakan momen sakral untuk sejenak ‎bermenung perihal esensi ibadah puasa. Spirit puasa terletak pada ikhtiar jiwa ‎dan raga untuk cakap dan mumpuni dalam pengendalian diri. Pada pemaknaan ‎mendasar, puasa merupakan ajang pengendalian diri untuk tidak makan tidak ‎minum semenjak pagi hingga petang. Namun, oleh Baginda Nabi SAW, model ‎puasa dengan sekadar pengendalian urusan perut macam itu, tidak memperoleh ‎pahala sama sekali kecuali hanya mendapat rasa lapar dan dahaga. Sementara ‎kebermaknaan puasa lebih kepada pengendalian jiwa, hati, dan pikiran. Sehingga ‎produk puasa adalah menghasilkan pribadi bertakwa; pribadi santun, ‎berperangai luhur.‎

‎ 
Ditilik mendalam, ritus puasa --yang juga ditemukan di hampir setiap agama, ‎menorehkan maksud untuk senantiasa bersikap bijak. Karena itu, puasa sebagai ‎ajang pengendalian jiwa bisa menjadi cara ampuh mengobati pemahaman ‎ekstremisme. Pada diri orang berpuasa, semestinya terbuncah rasa ‎mengendalikan diri untuk tidak gampang menyalahkan orang lain. Seyogianya ‎juga memunculkan sikap kendali diri untuk tidak merasa benar sendiri dalam ‎beragama. Pada perut lapar dan tenggorokan haus, mestinya menghasilkan rasa ‎kemengertian dan welas asih terhadap sesama; kesamaaan derajat sebagai ‎hamba Tuhan. ‎

‎ 
Pada ibadah puasa, jiwa dan raga benar-benar digembleng. Sebagaimana petuah ‎Nabi SAW di atas, maka terkata percuma bila diri ini berpuasa, tetapi tidak bisa ‎mengendalikan jemari untuk memposting ujaran kebencian, provokasi, dan ‎hoaks. Pikiran dan hati masih diliputi kecurigaan dan sinisme terhadap liyan. ‎Momentum Ramadhan merupakan titik tolak mengubah sikap destruktif tersebut ‎berganti dengan mencuitkan dan men-sharing konten-konten kebajikan. Inilah ‎kiranya pemaknaan berpuasa di era gadget macam hari ini.‎

‎ 
Refleksi berpuasa adalah agar ritus beragama tidak sekadar menggugurkan ‎kewajiban. Melainkan pula mampu merembes dalam kehidupan sehari hari ‎sepanjang waktu. Ada pesan menghunjam dari kaum bijak bestari sebagai bahan ‎perenungan, yakni: shalatlah setelah salam dan berpuasalah selepas berbuka. ‎Wallahu a’lam
‎ 

Muhammad Itsbatun Najih, Alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta


Opini Terbaru