Opini

Ramadhan, Bulan Antiekstremisme

Jumat, 24 Maret 2023 | 14:46 WIB

Ramadhan, Bulan Antiekstremisme

Ramadhan. (Foto: NU Online)

Saban kedatangan Bulan Suci Ramadhan, hendaknya perlu disyukuri sekaligus ‎kontemplasi. Lebih-lebih, hingga hari ini, kita belum terbebas ujaran kebencian, ‎hoaks, dan dakwah provokatif-intoleran. Nuansa damai hidup bersama seperti ‎barang mahal. ‎

‎ 
Pun, aneka praktik banalitas berkedok agama telah menyayat ketentraman. ‎Tujuannya tak lain tak bukan untuk mengusik dan memporak-porandakan ‎masyarakat yang multikultur; agar saling menaruh rasa curiga. Dalam kondisi ‎seperti ini, akal sehat dan kewarasan tetap wajib dikedepankan. Penonjolan ‎emosi bisa-bisa menyebabkan kondisi bertambah runyam. Kutukan terhadap laku ‎biadab macam teror memang mesti kita gaungkan. Kita pun mesti ‎memproklamirkan sikap untuk melawan praktik intoleran.‎

‎ 
Karena tujuan intoleransi untuk menyebar agitasi-ketakutan dan permusuhan di ‎antara sesama, justru berangkat dari sini, kita pun seyogianya berpikir kritis ‎bahwa, kita tidak boleh terprovokasi. Meyakini bahwa agama tidak sama sekali ‎mengajarkan laku intoleran dan teror. Saban diri kita sebagai umat beragama ‎perlu sejenak berkontemplasi untuk kemudian bisa memunculkan gugatan ‎reflektif bahwa, kalau agama memang mengajarkan intoleransi apalagi terorisme, ‎tentulah dunia ini beserta umat manusia sudah hancur-punah sejak dahulu. Kita ‎pun harus meyakini bahwa para teroris hanya berpikir absurd dan paradoks. ‎Mereka, para teroris, kerap mengatasnamakan agama. Padahal, yang ‎diatasnamakan alias agama itu sendiri nyata-nyata tidak membenarkan. ‎

‎ 
Kita mengapresiasi kerja aparat hukum yang belakangan sigap dalam upaya ‎pemberantasan terorisme. Kita mafhum perihal akibat perbuatan para teroris ‎dengan melakukan tindak destruktif, terbukti mengakibatkan ‎cacatnya/lenyapnya orang-orang yang tidak berdosa/tidak mempunyai ‎kepentingan apa pun. Nyata-nyata, korban intoleransi dan terorisme bisa ‎menimpa siapa saja. Baik anak kecil hingga yang tua renta. Baik pengusaha besar ‎hingga pedagang asongan, semua merasakan efek dahsyat tindakan teror. Dan, ‎imbas terorisme juga tidak mengenal pemeluk agama tertentu. Semua lapisan ‎masyarakat beserta identitas primordial dan atribut keagamaan, semuanya ‎merasakan keganasan terorisme. Jadi, ketika ada pemboman, kita memang harus ‎mengatakan bahwa aksi teror tidak ada kaitan/identik dengan agama apa pun ‎sebagaimana pernyataan Presiden Joko Widodo saat menanggapi teror bom di ‎Makassar, awal April 2021 lalu. ‎

‎ 
Praktik intoleransi dan bibit terorisme bermula dari paham ekstremisme ‎beragama. Karena itu, terutama di media sosial, kesadaran reflektif masyarakat ‎perlu mesti disinkronkan dengan gerak lincah jemari. Jangan sampai cuitan ‎maupun unggahan di Twitter dan Facebook mengarah pada desakralisasi nama ‎suci agama. Melainkan, sikap untuk menibakan intisari ajaran agama dalam hal ‎ajaran welas asih dan saling toleransi untuk disorongkan semaksimal mungkin; ‎sebagai ruang membangun kesolidan solidaritas. Khazanah agama yang dipeluk ‎masyarakat Indonesia mestinya menjadi tameng dan perisai dari segala tindakan ‎teror dan adu domba.   ‎

‎ 
Namun, memang kita tidak bisa menyangkal bahwa, ada sebagian kecil pihak ‎dengan cara beragama mengarah radikalisme-ekstremisme. Kita mafhum, ‎ekstremisme seperti duri dalam daging. Tidak saja mengusik intisari kerukunan ‎internal pemeluk suatu agama, tetapi juga lantang menafikan eksistensi agama ‎lain. Sehingga, ujung atas paham ekstremisme adalah hanya dirinya saja yang ‎benar. Padahal, prinsip agama merupakan jalan tengah (wasathiyyah) sekaligus ‎sebagai metode pencerahan manusia merajut harmoni dalam mengelola bumi ini. ‎

‎ 
Memasuki Ramadan, syahru al-shiyam, merupakan momen sakral untuk sejenak ‎bermenung perihal esensi ibadah puasa. Spirit puasa terletak pada ikhtiar jiwa ‎dan raga untuk cakap dan mumpuni dalam pengendalian diri. Pada pemaknaan ‎mendasar, puasa merupakan ajang pengendalian diri untuk tidak makan tidak ‎minum semenjak pagi hingga petang. Namun, oleh Baginda Nabi SAW, model ‎puasa dengan sekadar pengendalian urusan perut macam itu, tidak memperoleh ‎pahala sama sekali kecuali hanya mendapat rasa lapar dan dahaga. Sementara ‎kebermaknaan puasa lebih kepada pengendalian jiwa, hati, dan pikiran. Sehingga ‎produk puasa adalah menghasilkan pribadi bertakwa; pribadi santun, ‎berperangai luhur.‎

‎ 
Ditilik mendalam, ritus puasa --yang juga ditemukan di hampir setiap agama, ‎menorehkan maksud untuk senantiasa bersikap bijak. Karena itu, puasa sebagai ‎ajang pengendalian jiwa bisa menjadi cara ampuh mengobati pemahaman ‎ekstremisme. Pada diri orang berpuasa, semestinya terbuncah rasa ‎mengendalikan diri untuk tidak gampang menyalahkan orang lain. Seyogianya ‎juga memunculkan sikap kendali diri untuk tidak merasa benar sendiri dalam ‎beragama. Pada perut lapar dan tenggorokan haus, mestinya menghasilkan rasa ‎kemengertian dan welas asih terhadap sesama; kesamaaan derajat sebagai ‎hamba Tuhan. ‎

‎ 
Pada ibadah puasa, jiwa dan raga benar-benar digembleng. Sebagaimana petuah ‎Nabi SAW di atas, maka terkata percuma bila diri ini berpuasa, tetapi tidak bisa ‎mengendalikan jemari untuk memposting ujaran kebencian, provokasi, dan ‎hoaks. Pikiran dan hati masih diliputi kecurigaan dan sinisme terhadap liyan. ‎Momentum Ramadhan merupakan titik tolak mengubah sikap destruktif tersebut ‎berganti dengan mencuitkan dan men-sharing konten-konten kebajikan. Inilah ‎kiranya pemaknaan berpuasa di era gadget macam hari ini.‎

‎ 
Refleksi berpuasa adalah agar ritus beragama tidak sekadar menggugurkan ‎kewajiban. Melainkan pula mampu merembes dalam kehidupan sehari hari ‎sepanjang waktu. Ada pesan menghunjam dari kaum bijak bestari sebagai bahan ‎perenungan, yakni: shalatlah setelah salam dan berpuasalah selepas berbuka. ‎Wallahu a’lam
‎ 

Muhammad Itsbatun Najih, Alumnus UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta